Siska berdiri di depan cermin. Mematut-matut. Mengatur supaya payudaranya tak terganjal di antara dua cungkup BH. Ia belokkan puting yang tidak mematuk kutang secara benar.
"Tak bolehkah Ayah bangga memiliki putri semolek ini? Hm?" Tiba-tiba Ayah mengangsurkan lengan, membentuk lingkaran dekap.
Sisak terkejut, tetapi merasa senang. Ayah selalu datang tiba-tiba, memeluk dari belakang, memamerkan bulu-bulu tangannya yang lebat. Biasanya Siska menjumputi bulu-bulu itu.
Terkadang bahkan menggigit kecil. Ayah tak mem*kik kesakitan, tetapi justru Siska yang menjerit manja tatkala Ayah serentak membopongnya ke tempat tidur. Piyama Ayah tersibak karena gerakan mendadak, sementara Siska tak peduli dasternya tersingkap hingga ujung paha.
Ayah menindih Siska, menempatkan bagian vitalnya persis di pusat selangkangan putrinya. Siska merasakan sesuatu mengganjal dan berontak, namun ia membiarkannya begitu, sampai kemudian Ayah tak kuasa menahan hasrat hingga tergesa memelorotkan celana dalam.
Siska terpekik ketika Ayah menciuminya dengan nakal. Ia lingkarkan tangan ke bagian belakang kepala Ayah, agar Ayah tahu bahwa Siska amat menyukai cara berciuman Ayah.
Begitulah. Pergulatan biasa berlangsung setengah jam. Sprei terburai. Ayah melakukan tugasnya dengan perkasa. Siska mengalami orgasme ketiga tatkala Ayah melenguh panjang. Siska merasakan dinding vaginanya disemprot sesuatu. Banjir. dan meleleh...
Siska terkesiap. Tak ada siapa-siapa di kamar ini. Hanya ia dan lenguh angin. Gemerisik pohon bambu di belakang sana menyadarkannya bahwa ia tak melakukan senggama dengan siapapun, meski sejak tadi tangannya mengelus-elus dada, sedangkan tangan lain menyelusup liar di sekujur selangkangan. Ia menghela napas. Tak tahu, ia sedih atau gembira.
**ENAM BULAN LALU**Bagian pertama: Ketika Ibu Mulai Gerah
Ibu meletakkan kacamata di atas koran yang tadi ia baca. Ditatapnya Siska lekat-lekat. Ada gemuruh yang menendang-nendang jantung. Ia sadar usianya telah lanjut. Tetapi bukan karena itu mengapa belakangan berdegup. Siska. Ya, anak semata wayangnya itu membuat hatinya perih.
"Ibu tahu tidak gampang memilih jodoh. Ibu juga tahu kamu bingung mau memilih siapa. Tapi lihatlah dirimu. Usiamu sudah hampir tiga puluh. Mau menunggu berapa lama lagi untuk menentukan pilihan?" Ibu mendesis. Mengeluarkan ganjalan hati.
"Tak bisa diputuskan sekarang, Bu. Aku harus melihat lebih jauh pribadi Mas Lambang. Kami baru dua bulan lalu kenal."
"Ucapan seperti ini pernah Ibu dengar ketika kau intim dengan Priharna. Ditarik mundur ke belakang, kau juga mengatakan hal sama saat pacaran dengan Abi. Nanti kalau putus sama Lambang, Ibu yakin kau akan mengucapkan kalimat yang sama."
"Aku tak ingin seperti Mbak Lina yang cerai ketika baru setahun menikah, Bu. Aku takut."
"Ibu harus yakin dengan sikapku. Mas Lambang aku yakin yang terakhir."
"Ibu sangat menyesal membesarkanmu dengan kepribadian kukuh kalau sampai suatu saat nanti Ibu melihatmu putus lagi dari pacar yang kau sebut terakhir itu." Ibu berdiri. Lalu serentak menghambur ke dalam dengan dengus napas lelah.
Bagian kedua: Tatkala Kehormatan Dicuri
"Hai, sudah lama menunggunya?" Priharna meletakkan tas laptop di meja, menyerbu tubuh Siska yang sebenarnya masih letih karena semalaman berada di atas kereta api yang meluncur deras menuju Jakarta. Ia diberitahu oleh Priarna supaya mengambil kunci di tetangga sebelah, jika sampai di rumah kontrakan. Seharian Siska tiduran. Sesekali nonton TV. Jenuh juga rasanya menunggu.
"Ups!" Priarna mundur sejengkal. Lalu dengan tertawa nakal ia tatap payudara Siska.
"Iiiih, nakal banget sih!" Siska mencubit dada Priarna. Pria itu ngakak.
"Abis, makin seksi sih. Maaf, sayang, tadi sakit ya?" Priarna mengelus dagu Siska, menunjukkan perhatian seorang kekasih yang tak bisa setiap hari bertemu. Siska mengeluh, tapi sejatinya pura-pura. "Oke-oke. Yuk maem dulu." Lalu Priarna membuka bungkusan. Udang saus tiram dan gurami bakar, pesanan Siska.
Malam mulai meninggi. Siska selonjor kaki membelakangi Priarna. Duduk di karpet menonton televisi seperti ini sangat ingin dilakukan Siska tiap hari. Sayang ia bekerja di Semarang, sedangkan Priarna di Jakarta. Maka baru sebulan sekali ia mendapatkan elusan tangan kekasihnya. Hanya sebulan sekali ia mendapatkan tangan nakal Priarna yang tak jarang bergerilya hingga ke kedalaman BH.
Sejauh itu, Priarna hanya meluapkan rindunya dengan berciuman. Ciuman yang menggelora karena Priarna memberinya gigitan-gigitan kecil di bibir dan leher. Kalaupun sedikit lebih, biasanya Priarna melepasi baju dan celana, kemudian menarik dengan gemas seluruh busana Siska. Kemudian ia menggesek-gesekkan kemaluan di gerbang vagina Siska, dan memuncratkan sperma di atas perut pacarnya.
Tetapi malam ini sorot mata Priarna tampak beda. Siska merasakan napas pacarnya itu lebih kencang ketimbang biasa. Siska membalikkan kepala, menatap mata pacarnya yang kini tampak sayu.
"Mas sakit?" Siska meneliti wajah Priarna hingga ujung bibir. Bibir itulah yang tadi bertubi-tubi menyusuri puting payudaranya. Juga menciumi sekujur tubuhnya, dari kaki hingga ubun. Siska membantu mengeluarkan sperma Priarna dengan caranya, sebagai ujud cinta dan rasa sayang.
"Nggak, babe. Mas hanya pengin bobo. Ngantuk banget. Kamu belum ngantuk?"
"Belum, sih, tapi kalau Mas ngantuk bobo aja dulu. Ayo aku temani."
Lalu keduanya beranjak ke kamar tidur. Priarna mendekap Siska. Seperempat jam seolah keduanya hanyut ke lubuk mimpi. Tapi tahu-tahu tangan Priarna bergerak, menyusuri punggung Siska dengan elusan penuh tekanan. Siska menggelinjang kaget. Tadi ia mengira Priarna telah tidur.
Siska pasrah tatkala Priarna kembali menciuminya. Seperti biasa, ia juga tak terkejut ketika jari-jari kuat Priarna melepasi celana dalamnya. Tetapi ketika Priarna mulai melakukan sesuatu yang melampaui petting, Siska terkejut. Priarna terus melesakkan alat vital ke liang senggama Siska, sampai Siska sadar bahwa akan terjadi penetrasi. Siska mati-matian menolak.
"Kita belum menikah, sayang. Tunggu beberapa bulan lagi," ujar Siska menenangkan. Tangannya sibuk mendorong tubuh Priarna yang mulai kesetanan.
"Tolong, Siska, aku tak bisa menahannya," kata Priarna mengiba.
"Mengapa harus sekarang?"
"Karena tak mungkin aku melakukannya dengan wanita lain. Pada akhirnya toh kita menjadi suami istri. Please, honey, aku tolong dibantu. Laki-laki normal macam mana yang mampu menahan hasrat ini? Kita akan melakukannya atas dasar cinta, sayang."
Lalu terjadilah itu. Untuk pertama kalinya Siska merasakan sakit sekaligus nikmat. Ia menjerit, tetapi di lain waktu merintih senang. Itu terjadi berulang-ulang, sampai akhirnya Siska sadar bahwa ia tak lebih menunggu waktu untuk sebuah perpisahan. Prianya menikahi perempuan Bandung yang dipacarinya selagi ia masih berstatus pacar Siska!
beberapa bulan kemudian Siska berpacaran dengan Abi. Gitaris sebuah band terkenal itu tadinya sangat membanggakannya.
Penuh perhatian. Segala keperluan Siska dipenuhi. Tur kemana-mana Siska diajak. Namun, menginap dari hotel ke hotel hanyalah menciptakan dosa-dosa lain. Abi hanya menginginkan tubuh Siska yang molek dan terjaga lekuknya. etelah itu dibuang di tempat sampah!
**BINTANG JATUH**Bagian pertama: Lambang Menghunus Belati, Menoreh Hati Siska
Dua bulan lagi sat-saat indah itu akan hadir. Siska merasa puas melihat cetakan kartu undangan. Ia sudah berulangkali melewati Gedung Wanita, tempat pesta pernikahannya dengan Lambang, seraya membayangkan pelaminan dengan bunga-bunga terulur di sekujur ruangan. Ia tersenyum sembari menahan debar.
Hujan mulai turun. Ia menelepon taksi. Mall begitu ramai, sampai-sampai pintu masuk terganjal kerumunan. Taksi datang. "Jatingaleh, Pak," ucapnya kepada sopir.
Di perjalanan, ia menghubungi Lambang. Tak ada respon. Dicobanya lagi. Tetap sunyi. Handphone calon suaminya itu entah ditaruh di mana? Jangan-jangan ia ketiduran, batin Siska.
Tiba-tiba ia mendapat ide dadakan! "Belok ke Semeru, Pak," ucapnya, membuat sopir kaget. Biar kaget, ia tetap patuh, membelokkan arah ke Jalan Semeru, jalan yang satu kilo lagi sampai Jatingaleh andai mobil tetap lurus.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah megah. Siska berjingkat-jingkat. Melongok di sebuah lubang yang berhubungan dengan pos satpam.
"O, Ibu. Mari, Bu, silakan masuk. Bapak di dalam," begitu si satpam membungkuk hormat saat membuka gerbang.
Siska hanya melempar senyum. Ia tak asing lagi di rumah ini.
Di ruang tengah, Siska tak mendapatkan tanda-tanda aktivitas Lambang. Siska menduga pria itu ada di ruang atas, di kamar kerjanya. Mengetik sesuatu atau membaca. Berjingkat-jingkat ia menaiki tangga. Ada sayup-sayup suara. Barangkali televisi.
Sebelum mencapai ruang kerja Lambang, Siska melongok kamar utama di ujung tangga. Di sana ia nanar. Jantungnya nyaris lepas. Dalam keremangan, ia melihat Lambang tengah menindih seseorang. ubuh mereka telanjang bulat. Seseorang itu bukan wanita, melainkan pria!
Bagian kedua: Terima Kasih, Ayah
Seseorang mengetuk pintu. "Siapa?" Teriak Siska.
"House keeping." Ujar seseorang.
Siska malas-malasan bangkit. Ia kuak pintu, dan amat terkejut ketika dilihatnya Ayah berdiri di sana dengan tatapan prihatin.
"Terima kasih, Mas, atas bantuannya," ujar Ayah pada seorang pria yang ternyata manajer hotel. Siska menduga, manajer itulah yang menunjukkan kamarnya, karena 'persembunyian' ini sebelumnya tak diketahui oleh siapapun.
"Tak perlu tanya bagaimana Ayah bisa menemukanmu," ucap Ayah dari bibir pembaringan, sesaat kemudian. Siska duduk terpekur di sofa, tak tahu harus bicara apa. Ayah menghela napas. dalam, dalam sekali.
"Untuk apa lari, sayang? Ayah mengajari kamu tentang kepahitan. Ayah mengajari kamu tentang hidup yang makin keras. Kalau kamu lari dari kenyataan dan membuat ibumu dirawat di rumah sakit karena serangan jantung, sia-sia Ayah membekalimu mental baja." Pandangan mata Ayah menerawang. Entah menembus dinding ke berapa.
"Maafkan aku, Ayah," akhirnya Siska bersuara. Itupun nadanya getir.
"Ayah harap kamu pulang. Tengok ibumu yang kritis. Ia mengigau, memanggil-manggil kamu."
Siska dijalari perasaan bersalah. Seminggu ini ia merasa terlepas dari belenggu dan kejahatan pria, namun tiba-tiba ada yang lebih penting dari sekadar lari.
Ia menghambur ke Ayah. Memeluknya dengan rasa sayang. Ayah mendekap erat, memperlihatkan haknya sebagai pria yang harus melindungi anak. Lama Siska tersedu sedan di dada Ayah, sampai baju Ayah basah. Napasnya menyusuri kulit pria 56 tahun itu, hingga tanpa terasa menciptakan proses kimiawi.
Pada awalnya Ayah menganggap dekapan Siska adalah sebentuk tumpahan kasih sayang. Tetapi tiba-tiba ia dijalari perasaan lain ketika tak henti-hentinya jantung Siska berdegup, persis di jantungnya. Celakanya naik turunnya napas Siska dibarengi dengan gerakan payudara. Mati-matian Ayah menahan diri, membentengi supaya tak terjadi reaksi pada alat vitalnya. tetapi ia kalah.
Entah mengapa keduanya roboh dari semula duduk berdampingan. Siska tak menghentikan pelukan, namun justru membuat situasi seolah-olah keduanya adalah sepasang kekasih yang berada dalam satu ruangan. Ia teramat letih, fisik maupun psikis. Kelenjar darahnya memerlukan sentuhan pria. Ia pernah tak mempercayai laki-laki manapun, sampai akhirnya pria paling bisa dipercaya adalah ayahnya.
Ia memagut bibir Ayah, menciptakan gerakan-gerakan merangsang. Ayah berusaha mencegah, tetapi nyaris dua tahun tak melakukan aktivitas seksual adalah perkara lain. Mendadak hatinya kembali purba, ia gagal menyadarakan dirinya bahwa perempuan yang mulai sibuk mencopoti bajunya itu adalah anak kandungnya.
Siska duduk mengangkang di atas tubuh Ayah, menciumi dengan liar bulu-bulu lebat di dada pria di bawahnya. Tangannya berkeliaran ke bagian belakang kepala Ayah, sedang satunya menyusup ke bagian dalam celana Ayah yang sudah membuka. Dengus napas keduanya merayap di dinding hotel. Menciptakan kecipak bibir dan pertautan vagina-penis yang secara naluriah saling mengatup.
Siska naik turun di atas tubuh Ayah. Ayah mengimbanginya dengan gerakan melingkar. Terkadang Ayah meminta duduk, memposisikan seolah sedang memangku putrinya. Siska merasakan denyut penis ayahnya demikian kuat, menerjang setiap dinding vaginya, sampai kemudian sesuatu memuncrat keluar, bersamaan Siska juga mendapati orgasme keduanya. Hingga malam, hingga mereka lupa pulang, sampai kemudian ponsel Ayah berdering: mengabarkan Ibu telah meinggal, pukul 18.00 lalu.
**ENDING**Setahun lebih Siska melakukan incest dengan Ayah. Mereka berhubungan intim di kamar, depan televisi, kamar mandi, dapur, hingga kadang malam-malam menggelar tikar di taman belakang rumah.
Sampai akhirnya Siska hamil. Ia sadar akan satu hal, tak mungkin Ayahnya menjadi bapak sekaligus kakek jabang bayi. Suatu malam, ia mengendap-endap keluar, meinggalkan secarik kertas bertuliskan cinta kepada Ayah, dan menumpang taksi menuju suatu tempat dalam perjalanan lebih dari dua jam. Ia mendapatkan rumah di tepi danau ini untuk memulai hidup baru sebagai petani. Ia berteman dengan angsa-angsa yang tiap sore maupun pagi mengapung di atas danau.
Siska bertekad membesarkan anaknya sendirian.
"Tak bolehkah Ayah bangga memiliki putri semolek ini? Hm?" Tiba-tiba Ayah mengangsurkan lengan, membentuk lingkaran dekap.
Sisak terkejut, tetapi merasa senang. Ayah selalu datang tiba-tiba, memeluk dari belakang, memamerkan bulu-bulu tangannya yang lebat. Biasanya Siska menjumputi bulu-bulu itu.
Terkadang bahkan menggigit kecil. Ayah tak mem*kik kesakitan, tetapi justru Siska yang menjerit manja tatkala Ayah serentak membopongnya ke tempat tidur. Piyama Ayah tersibak karena gerakan mendadak, sementara Siska tak peduli dasternya tersingkap hingga ujung paha.
Ayah menindih Siska, menempatkan bagian vitalnya persis di pusat selangkangan putrinya. Siska merasakan sesuatu mengganjal dan berontak, namun ia membiarkannya begitu, sampai kemudian Ayah tak kuasa menahan hasrat hingga tergesa memelorotkan celana dalam.
Siska terpekik ketika Ayah menciuminya dengan nakal. Ia lingkarkan tangan ke bagian belakang kepala Ayah, agar Ayah tahu bahwa Siska amat menyukai cara berciuman Ayah.
Begitulah. Pergulatan biasa berlangsung setengah jam. Sprei terburai. Ayah melakukan tugasnya dengan perkasa. Siska mengalami orgasme ketiga tatkala Ayah melenguh panjang. Siska merasakan dinding vaginanya disemprot sesuatu. Banjir. dan meleleh...
Siska terkesiap. Tak ada siapa-siapa di kamar ini. Hanya ia dan lenguh angin. Gemerisik pohon bambu di belakang sana menyadarkannya bahwa ia tak melakukan senggama dengan siapapun, meski sejak tadi tangannya mengelus-elus dada, sedangkan tangan lain menyelusup liar di sekujur selangkangan. Ia menghela napas. Tak tahu, ia sedih atau gembira.
**ENAM BULAN LALU**Bagian pertama: Ketika Ibu Mulai Gerah
Ibu meletakkan kacamata di atas koran yang tadi ia baca. Ditatapnya Siska lekat-lekat. Ada gemuruh yang menendang-nendang jantung. Ia sadar usianya telah lanjut. Tetapi bukan karena itu mengapa belakangan berdegup. Siska. Ya, anak semata wayangnya itu membuat hatinya perih.
"Ibu tahu tidak gampang memilih jodoh. Ibu juga tahu kamu bingung mau memilih siapa. Tapi lihatlah dirimu. Usiamu sudah hampir tiga puluh. Mau menunggu berapa lama lagi untuk menentukan pilihan?" Ibu mendesis. Mengeluarkan ganjalan hati.
"Tak bisa diputuskan sekarang, Bu. Aku harus melihat lebih jauh pribadi Mas Lambang. Kami baru dua bulan lalu kenal."
"Ucapan seperti ini pernah Ibu dengar ketika kau intim dengan Priharna. Ditarik mundur ke belakang, kau juga mengatakan hal sama saat pacaran dengan Abi. Nanti kalau putus sama Lambang, Ibu yakin kau akan mengucapkan kalimat yang sama."
"Aku tak ingin seperti Mbak Lina yang cerai ketika baru setahun menikah, Bu. Aku takut."
"Ibu harus yakin dengan sikapku. Mas Lambang aku yakin yang terakhir."
"Ibu sangat menyesal membesarkanmu dengan kepribadian kukuh kalau sampai suatu saat nanti Ibu melihatmu putus lagi dari pacar yang kau sebut terakhir itu." Ibu berdiri. Lalu serentak menghambur ke dalam dengan dengus napas lelah.
Bagian kedua: Tatkala Kehormatan Dicuri
"Hai, sudah lama menunggunya?" Priharna meletakkan tas laptop di meja, menyerbu tubuh Siska yang sebenarnya masih letih karena semalaman berada di atas kereta api yang meluncur deras menuju Jakarta. Ia diberitahu oleh Priarna supaya mengambil kunci di tetangga sebelah, jika sampai di rumah kontrakan. Seharian Siska tiduran. Sesekali nonton TV. Jenuh juga rasanya menunggu.
"Ups!" Priarna mundur sejengkal. Lalu dengan tertawa nakal ia tatap payudara Siska.
"Iiiih, nakal banget sih!" Siska mencubit dada Priarna. Pria itu ngakak.
"Abis, makin seksi sih. Maaf, sayang, tadi sakit ya?" Priarna mengelus dagu Siska, menunjukkan perhatian seorang kekasih yang tak bisa setiap hari bertemu. Siska mengeluh, tapi sejatinya pura-pura. "Oke-oke. Yuk maem dulu." Lalu Priarna membuka bungkusan. Udang saus tiram dan gurami bakar, pesanan Siska.
Malam mulai meninggi. Siska selonjor kaki membelakangi Priarna. Duduk di karpet menonton televisi seperti ini sangat ingin dilakukan Siska tiap hari. Sayang ia bekerja di Semarang, sedangkan Priarna di Jakarta. Maka baru sebulan sekali ia mendapatkan elusan tangan kekasihnya. Hanya sebulan sekali ia mendapatkan tangan nakal Priarna yang tak jarang bergerilya hingga ke kedalaman BH.
Sejauh itu, Priarna hanya meluapkan rindunya dengan berciuman. Ciuman yang menggelora karena Priarna memberinya gigitan-gigitan kecil di bibir dan leher. Kalaupun sedikit lebih, biasanya Priarna melepasi baju dan celana, kemudian menarik dengan gemas seluruh busana Siska. Kemudian ia menggesek-gesekkan kemaluan di gerbang vagina Siska, dan memuncratkan sperma di atas perut pacarnya.
Tetapi malam ini sorot mata Priarna tampak beda. Siska merasakan napas pacarnya itu lebih kencang ketimbang biasa. Siska membalikkan kepala, menatap mata pacarnya yang kini tampak sayu.
"Mas sakit?" Siska meneliti wajah Priarna hingga ujung bibir. Bibir itulah yang tadi bertubi-tubi menyusuri puting payudaranya. Juga menciumi sekujur tubuhnya, dari kaki hingga ubun. Siska membantu mengeluarkan sperma Priarna dengan caranya, sebagai ujud cinta dan rasa sayang.
"Nggak, babe. Mas hanya pengin bobo. Ngantuk banget. Kamu belum ngantuk?"
"Belum, sih, tapi kalau Mas ngantuk bobo aja dulu. Ayo aku temani."
Lalu keduanya beranjak ke kamar tidur. Priarna mendekap Siska. Seperempat jam seolah keduanya hanyut ke lubuk mimpi. Tapi tahu-tahu tangan Priarna bergerak, menyusuri punggung Siska dengan elusan penuh tekanan. Siska menggelinjang kaget. Tadi ia mengira Priarna telah tidur.
Siska pasrah tatkala Priarna kembali menciuminya. Seperti biasa, ia juga tak terkejut ketika jari-jari kuat Priarna melepasi celana dalamnya. Tetapi ketika Priarna mulai melakukan sesuatu yang melampaui petting, Siska terkejut. Priarna terus melesakkan alat vital ke liang senggama Siska, sampai Siska sadar bahwa akan terjadi penetrasi. Siska mati-matian menolak.
"Kita belum menikah, sayang. Tunggu beberapa bulan lagi," ujar Siska menenangkan. Tangannya sibuk mendorong tubuh Priarna yang mulai kesetanan.
"Tolong, Siska, aku tak bisa menahannya," kata Priarna mengiba.
"Mengapa harus sekarang?"
"Karena tak mungkin aku melakukannya dengan wanita lain. Pada akhirnya toh kita menjadi suami istri. Please, honey, aku tolong dibantu. Laki-laki normal macam mana yang mampu menahan hasrat ini? Kita akan melakukannya atas dasar cinta, sayang."
Lalu terjadilah itu. Untuk pertama kalinya Siska merasakan sakit sekaligus nikmat. Ia menjerit, tetapi di lain waktu merintih senang. Itu terjadi berulang-ulang, sampai akhirnya Siska sadar bahwa ia tak lebih menunggu waktu untuk sebuah perpisahan. Prianya menikahi perempuan Bandung yang dipacarinya selagi ia masih berstatus pacar Siska!
beberapa bulan kemudian Siska berpacaran dengan Abi. Gitaris sebuah band terkenal itu tadinya sangat membanggakannya.
Penuh perhatian. Segala keperluan Siska dipenuhi. Tur kemana-mana Siska diajak. Namun, menginap dari hotel ke hotel hanyalah menciptakan dosa-dosa lain. Abi hanya menginginkan tubuh Siska yang molek dan terjaga lekuknya. etelah itu dibuang di tempat sampah!
**BINTANG JATUH**Bagian pertama: Lambang Menghunus Belati, Menoreh Hati Siska
Dua bulan lagi sat-saat indah itu akan hadir. Siska merasa puas melihat cetakan kartu undangan. Ia sudah berulangkali melewati Gedung Wanita, tempat pesta pernikahannya dengan Lambang, seraya membayangkan pelaminan dengan bunga-bunga terulur di sekujur ruangan. Ia tersenyum sembari menahan debar.
Hujan mulai turun. Ia menelepon taksi. Mall begitu ramai, sampai-sampai pintu masuk terganjal kerumunan. Taksi datang. "Jatingaleh, Pak," ucapnya kepada sopir.
Di perjalanan, ia menghubungi Lambang. Tak ada respon. Dicobanya lagi. Tetap sunyi. Handphone calon suaminya itu entah ditaruh di mana? Jangan-jangan ia ketiduran, batin Siska.
Tiba-tiba ia mendapat ide dadakan! "Belok ke Semeru, Pak," ucapnya, membuat sopir kaget. Biar kaget, ia tetap patuh, membelokkan arah ke Jalan Semeru, jalan yang satu kilo lagi sampai Jatingaleh andai mobil tetap lurus.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah megah. Siska berjingkat-jingkat. Melongok di sebuah lubang yang berhubungan dengan pos satpam.
"O, Ibu. Mari, Bu, silakan masuk. Bapak di dalam," begitu si satpam membungkuk hormat saat membuka gerbang.
Siska hanya melempar senyum. Ia tak asing lagi di rumah ini.
Di ruang tengah, Siska tak mendapatkan tanda-tanda aktivitas Lambang. Siska menduga pria itu ada di ruang atas, di kamar kerjanya. Mengetik sesuatu atau membaca. Berjingkat-jingkat ia menaiki tangga. Ada sayup-sayup suara. Barangkali televisi.
Sebelum mencapai ruang kerja Lambang, Siska melongok kamar utama di ujung tangga. Di sana ia nanar. Jantungnya nyaris lepas. Dalam keremangan, ia melihat Lambang tengah menindih seseorang. ubuh mereka telanjang bulat. Seseorang itu bukan wanita, melainkan pria!
Bagian kedua: Terima Kasih, Ayah
Seseorang mengetuk pintu. "Siapa?" Teriak Siska.
"House keeping." Ujar seseorang.
Siska malas-malasan bangkit. Ia kuak pintu, dan amat terkejut ketika dilihatnya Ayah berdiri di sana dengan tatapan prihatin.
"Terima kasih, Mas, atas bantuannya," ujar Ayah pada seorang pria yang ternyata manajer hotel. Siska menduga, manajer itulah yang menunjukkan kamarnya, karena 'persembunyian' ini sebelumnya tak diketahui oleh siapapun.
"Tak perlu tanya bagaimana Ayah bisa menemukanmu," ucap Ayah dari bibir pembaringan, sesaat kemudian. Siska duduk terpekur di sofa, tak tahu harus bicara apa. Ayah menghela napas. dalam, dalam sekali.
"Untuk apa lari, sayang? Ayah mengajari kamu tentang kepahitan. Ayah mengajari kamu tentang hidup yang makin keras. Kalau kamu lari dari kenyataan dan membuat ibumu dirawat di rumah sakit karena serangan jantung, sia-sia Ayah membekalimu mental baja." Pandangan mata Ayah menerawang. Entah menembus dinding ke berapa.
"Maafkan aku, Ayah," akhirnya Siska bersuara. Itupun nadanya getir.
"Ayah harap kamu pulang. Tengok ibumu yang kritis. Ia mengigau, memanggil-manggil kamu."
Siska dijalari perasaan bersalah. Seminggu ini ia merasa terlepas dari belenggu dan kejahatan pria, namun tiba-tiba ada yang lebih penting dari sekadar lari.
Ia menghambur ke Ayah. Memeluknya dengan rasa sayang. Ayah mendekap erat, memperlihatkan haknya sebagai pria yang harus melindungi anak. Lama Siska tersedu sedan di dada Ayah, sampai baju Ayah basah. Napasnya menyusuri kulit pria 56 tahun itu, hingga tanpa terasa menciptakan proses kimiawi.
Pada awalnya Ayah menganggap dekapan Siska adalah sebentuk tumpahan kasih sayang. Tetapi tiba-tiba ia dijalari perasaan lain ketika tak henti-hentinya jantung Siska berdegup, persis di jantungnya. Celakanya naik turunnya napas Siska dibarengi dengan gerakan payudara. Mati-matian Ayah menahan diri, membentengi supaya tak terjadi reaksi pada alat vitalnya. tetapi ia kalah.
Entah mengapa keduanya roboh dari semula duduk berdampingan. Siska tak menghentikan pelukan, namun justru membuat situasi seolah-olah keduanya adalah sepasang kekasih yang berada dalam satu ruangan. Ia teramat letih, fisik maupun psikis. Kelenjar darahnya memerlukan sentuhan pria. Ia pernah tak mempercayai laki-laki manapun, sampai akhirnya pria paling bisa dipercaya adalah ayahnya.
Ia memagut bibir Ayah, menciptakan gerakan-gerakan merangsang. Ayah berusaha mencegah, tetapi nyaris dua tahun tak melakukan aktivitas seksual adalah perkara lain. Mendadak hatinya kembali purba, ia gagal menyadarakan dirinya bahwa perempuan yang mulai sibuk mencopoti bajunya itu adalah anak kandungnya.
Siska duduk mengangkang di atas tubuh Ayah, menciumi dengan liar bulu-bulu lebat di dada pria di bawahnya. Tangannya berkeliaran ke bagian belakang kepala Ayah, sedang satunya menyusup ke bagian dalam celana Ayah yang sudah membuka. Dengus napas keduanya merayap di dinding hotel. Menciptakan kecipak bibir dan pertautan vagina-penis yang secara naluriah saling mengatup.
Siska naik turun di atas tubuh Ayah. Ayah mengimbanginya dengan gerakan melingkar. Terkadang Ayah meminta duduk, memposisikan seolah sedang memangku putrinya. Siska merasakan denyut penis ayahnya demikian kuat, menerjang setiap dinding vaginya, sampai kemudian sesuatu memuncrat keluar, bersamaan Siska juga mendapati orgasme keduanya. Hingga malam, hingga mereka lupa pulang, sampai kemudian ponsel Ayah berdering: mengabarkan Ibu telah meinggal, pukul 18.00 lalu.
**ENDING**Setahun lebih Siska melakukan incest dengan Ayah. Mereka berhubungan intim di kamar, depan televisi, kamar mandi, dapur, hingga kadang malam-malam menggelar tikar di taman belakang rumah.
Sampai akhirnya Siska hamil. Ia sadar akan satu hal, tak mungkin Ayahnya menjadi bapak sekaligus kakek jabang bayi. Suatu malam, ia mengendap-endap keluar, meinggalkan secarik kertas bertuliskan cinta kepada Ayah, dan menumpang taksi menuju suatu tempat dalam perjalanan lebih dari dua jam. Ia mendapatkan rumah di tepi danau ini untuk memulai hidup baru sebagai petani. Ia berteman dengan angsa-angsa yang tiap sore maupun pagi mengapung di atas danau.
Siska bertekad membesarkan anaknya sendirian.
Komentar
Posting Komentar