Langsung ke konten utama

Cara Memotivasi Anak

Diana, sebuah nama yang dipilih oleh orang tuanya dulu. Kini, ia menamani anaknya Dana, selain karena bunyinya hampir mirip, juga karena Diana berharap anaknya tidak akan kekurangan dana selama hidupnya. Namun ternyata, nasib berbicara lain. Kini, setelah beranjak gede, Dana ternyata sangat santai dalam menghadapi hidup ini. Alih – alih memikirkan universitas mana yang akan ditempuh, Dana malah telah memutuskan untuk bekerja sehabis lulus SMA. Tiap hari kerjanya hanya main gim saja. Entah apa yang salah, batin Diana.



Telah beberapa kali Diana memergoki anaknya yang sedang mengintip saat ia mandi. Bahkan terkadang, Dana mengintip roknya saat akan dan atau beranjak dari duduk. Sikap anaknya memang tak menyenangkan, namun kali ini Diana lebih mementingkan jalan hidup anaknya. Apalagi kalau melihat rapotnya, jarang ada nilai lebih dari delapan puluh.

Seharian Diana mencoba berpikir apa yang mesti dilakukan untuk mengubah nilai dan pandangan hidup anaknya. Bagaimana caranya untuk memotivasi anaknya yang kurang termotivasi? Ingin rasanya Diana mengundang motivator terkenal, namun apa daya tiada rupiah.

Malam hari, Diana makan seperti biasa bersama anaknya. Selesai makan, saat Dana akan kembali ke kamarnya, Diana menghentikan.

“Duduk dulu sini, ada yang mau mama bicarain.”

“Lah, Dana udah tau mama mau bicarain apa. Pasti itu lagi – itu lagi.”

“Iya, mama ngerti. Tapi mama inginnya meski kamu tak niat kuliah, nilaimu harus bagus semua. Apalagi mama ingin sehabis sekolah kamu tuh kuliah.”

“Tapi mah, Dana udah seneng kok hidup kayak gini. Apa lagi yang kurang?”

“Pasti ada yang kurang. Masa kamu puas hanya dengan seperti ini sih?”

“Kagak ada yang kurang mah. Kecuali…”

“Kecuali apa?”

“Kecuali cewek telanjang. Hehehe…”

“Hehe… Dasar kamu itu. Pantesan kamu doyan bener intipin mama mandi.”

Dana yang lagi tersenyum mendadak diam. Terkejut.



“Kamu kira mama gak menyadari kelakuanmu apa?”

“Iya mah, maaf. Abis Dana penasaran sih.”

“Iya mama ngerti. Seusia kamu memang penasaran sama segala hal. Malahan bagus kok, daripada mati penasaran.”

“Makasih mah.”

“Tapi mama ingin agar kamu tingkatin nilai kamu. Terus kuliah. Biar nanti bisa lebih daripada mama. Lebih sukses dan lebih kaya.”

“Gak perlu mah. Gini juga udah bahagia kok.”

“Meski tanpa gadis telanjang,” kata Diana sambil nyengir. “Ya udah, kalau kamu mau ke kamar. Mama mau beresin dulu.”

“Iya mah.”

Diana pun membersihkan sisa makanan dan mencuci piring. Telah delapan tahun Diana sendirian mengurus anaknya. Delapan tahun lalu David, ayahnya Dana, meninggal. Selama ini Diana berjuang mencari nafkah juga membesarkan. Tatapan mata anaknya saat mengintip membuat Diana kembali merasa ingin menjadi wanita seutuhnya, yang diinginkan oleh pria, dijamah oleh laki – laki, dicumbui lelaki.

“Mama boleh masuk nak?” tanya Diana setelah mengetuk pintu kamar anaknya.

Namun, tanpa menunggu jawaban, Diana langsung masuk dan mendapati anaknya sedang duduk di depan monitor. Diana lalu duduk di ranjang anaknya.

“Ada apa mah?”

“Nak, mama rasa keputusanmu untuk kerja sehabis sekolah bakal kamu sesali nanti,” kata Diana sambil mengusap kepala anaknya.

“Kalau begitu adanya, biarlah nanti Dana sesali apa yang Dana putuskan hari ini.”

“Mama ingin kamu kuliah. Namun meski begitu, mama takkan menghukum kamu dengan menjual komputermu dan atau melarangmu melakukan ini – itu.

“Jadi, daripada melarangmu, mama putuskan untuk memberimu hadiah jika dan hanya jika nilai rata – rata EBTANASmu lebih dari pada delapan puluh dan kamu lanjut kuliah.”

“Tapi mah, Dana kan udah bilang Dana gak perlu apa – apa lagi.”

Diana menghelan nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.

“JIka nanti pada saat EBTANAS nilaimu lebih dari delapan puluh dan kamu putuskan akan kuliah, mama akan hadiahi kamu wanita telanjang.”

“Apa?”

“Jika nilaimu bagus, mama tak akan lagi memakai pakaian di rumah hanya jika sedang berdua denganmu, alias tak ada tamu.”

“Hehehe… Mama emang pinter bercanda,” tawa Dana.

Wajah Diana yang terkesan dingin membuat Dana menghentikan tawanya.

“Jika tubuh usia empat puluh empat tahun masih menarik bagimu, maka peganglah janji mama ini. Tapi jika nilai rata – ratamu kurang dari delapan puluh, maka saat itu juga perjanjian ini mama batalkan. Setuju?”

“Mama gila,” kata Dana namun tangannya menyalami tangan mamanya tanda setuju.

Detik – detik berganti dengan menit. Menit pun silih berganti. Hari – hari pun terus berganti. Dana kini mulai rajin belajar. Suatu hari tiba – tiba ada surat community college setempat yang mengabari bahwa Dana diterima untuk meneruskan pendidikan di CC tersebut.

“Kok di CC sih, kenapa gak di universitas negri aja?”

“Biar hemat duit dong mah. Kan di perjanjiannya juga yang penting kuliah, gak mesti di sini atau di situ.”

“Wow, Dana yang dulu kemana yah?”

Mereka pun tertawa, namun Dana langsung belajar lagi. Diana semakin tegang menyadari nilai harian anaknya yang makin meningkat. Kadang Diana merasa malu sendiri mengingat janji kecilnya. Tapi di sisi lain Diana senang akan perubahan positif anaknya. Tentu bukan berarti Diana akan bersenggama dengan anaknya. Namun di relung hatinya Diana tahu, bukan hormone anaknya saja yang sedang terpacu. Diana menikmati perasaan yang akan datang saat Diana telanjang di depan mata anaknya. Lama rasanya Diana tak merasakan perasaan tak nyaman di perutnya. Diana sungguh senang.

Malamnya acara makan terasa sunyi, sesunyi nyanyian senyap. Di meja terletak dokumen. Dokumen yang tak hentinya dilirik oleh Diana. Diana berdiri dan akan melangkah saat anaknya menghentikannya.

“Mah, Dana tahu mama akan melaksanakan perjanjiannya, tapi Dana rasa tak perlu mah. Lagian mama lakuin itu untuk memotivasi Dana. Bagi Dana itu saja sudah cukup kok. Menjanjikan sesuatu yang akan memotivasi Dana memang menakjubkan. Tapi Dana kini sudah di jalur yang benar.”

Setelah itu Dana membersihkan meja makan lalu beranjak ke kamarnya meninggalkan Diana yang tersenyum sendiri sambil geleng – geleng. Perasaan tak nyaman di perut kembali datang.

Sabtu itu Dana bangun agak siang. Setelah mandi, Dana pun ke dapur ingin makan. Dana tahu setiap sabtu mama selalu belanja. Namun Dana melihat daster mama tergantung di pegangan pintu. Sambil melankah Dana menghanduki rambutnya. Namun saat di dapur Dana menjatuhkan handuknya.

Diana menoleh dan tersenyum saat melihat Dana, “baru bangun nak? Mau goreng telor apa roti bakar?”

Dana melongo melihat mamanya menawakan sarapan tanpa memakai pakaian. Matanya menjelajahi tubuh mama mulai dari payudaranya sampai jembut halus di selangkangan. Bahkan meski telah berkali – kali ngintip, namun tak sejelas sekarang.

Merasa ditelanjangi mata anaknya membuat Diana tertawa lalu kembali masak.

“Inilah tubuh empat puluh empat tahun yang mama janjikan,” kata Diana sambil menggoyangkan pantatnya.

“Mama ngapain sih?”

“Bikin sarapan, mau telur apa roti?”

“Telur ajalah. Kenapa mama gak dibaju?”

“Menurutmu kenapa? Mama bukan orang yang suka ingkar. Mama bangga sama kamu.” Diana melirik mendapati anaknya sedang menatap susu kirinya. “Duduk aja nunggu goreng telor nikmati pemandangan. Kamu berhak mendapatkannya.” Lalu Diana melanjutkan memasak.

Dana hanya mampu menuruti, duduk sambil menatapi tubuh mamanya. Puting mamanya terlihat seperti menunjuk tegak. Bukan karena udara, namun karena sensasi yang dirasakannya.

“Mama seksi sekali.”

“Makasih nak.”

Diana pun selesai memasak dan menaruh makanan di meja makan. Diana ikut duduk.

“Baiklah, biar ini bisa berjalan lancar, kita perlu membuat aturan. Setiap pulang, mama akan ke kamar mama lalu langsung melepas pakaian. Kalau ada tamu, kamu mesti membuka pintu sementara mama berpakaian.”

“Pasti seru liat mama lari - lari di rumah.”

“Pasti itu. Serius, kini kamu bisa menatap sampai bosan, seperti yang mama janjikan. Tapi tidak boleh menyentuh, apalagi menceritakan pada siapa pun. Jika nilaimu jatuh, drop out dan atau menyentuh, mama kembali berpakaian. Paham?”

“Paham. Tapi mama gak berharap ikut – ikutan telanjang juga kan?

“Tentu saja tidak. Aneh kau ini. Udah, nikmati saja keberuntunganmu.”

Sarapan pagi itu berlangsung dalam diam. Setelah makan, Dana membereskan meja sambil melihat susu dan selangkangan mama.

Perut Diana kembali mengeluarkan sensasi saat tubuhnya ditatap oleh anaknya.

Dana mencoba bertahan dari keinginan untuk menyentuh susu mama. Aturan main yang ditetapkan mamanya membuatnya patuh.

“Kayaknya mama adalah mama paling keren deh.”

Diana menatap mata anaknya, “makasih, tapi mama yakin kamu pasti bilang gitu ke setiap wanita, apalagi yang telanjang di hadapanmu.”

“Tentu saja Dana tak mungkin memanggil wanita lain ‘mama’ sambil berharap melihatnya telanjang.”

Diana tertawa lalu reflek memeluk anaknya. Dana tentu menikmati sentuhan tubuh telanjang mamanya.

“Selama kamu mematuhi aturan mainnya mama akan telanjang di hadapanmu. Sekarang, kamu mau mama ngapain?”

Dana melirik saat akan melangkah, “gak tau mah, mungkin kita main wii bareng.”

Diana kembali tertawa mendengar ajakan main gim dari anaknya.

Diana memencet klakson saat melihat anaknya.

“Hei, tumben kamu agak telat.”

Dana melemparkan tas ke jok belakang lalu duduk di samping mamanya.

“Hari ini mau ngapain nak?”

“Paling ngerjain pr mah di rumah temen.”

“Ntar mama sendirian dong.”

Mobil pun memasuki garasi lalu mereka pun masuk ke rumah.

“Mama lepas pakaian dulu, abis itu masak.”

“Tunggu mah. Mama tau kan Dana terangsang berat?”

Diana tertawa, “gimana tidak, matamu jelajatan terus kan.”

“Mama telanjang di rumah kan hadiah bagi Dana.”

“Ya.”

Diana kembali merasakan rasa mulas di perutnya mendengar pembicaraan anaknya.

“Boleh gak Dana lihat mama membuka pakaian?” kata Dana sambil menunduk.

Ternyata itu yang dikatakan anaknya. Diana pun merasa lega.

“Kamu mau mama melepas pakaian sambil menggodamu, kayak di film – film barat?”

“Bukan mah. Buka aja biasa, hanya sambil Dana lihat.”

“Menarik. Memang tak melanggar perjanjian sih. Baiklah. Ayo ikut mama.”

Diana lalu memegang tangan anaknya dan membimbingnya ke kamarnya.

“Kamu duduk aja di kasur, mama ke kamar mandi dulu.”

Dana duduk sambil melihat foto – foto di kamar. Ada foto dirinya sedari kecil, foto papa dan lainnya. Beberapa saat kemudian Diana keluar dari kamar mandi sambil memegang rambutnya.

“Baiklah, mama akan mulai pertunjukannya untuk anak mama seorang.”

“Kenapa mama gak cari pacar lagi setelah papa berpulang?” kata Dana sambil melihat foto keluarga yang ada di meja rias.

“Mama ingin kerja dulu sambil besarin kamu. Jadinya mama gak punya waktu luang deh,” kata Diana sambil duduk di sebelah anaknya.

“Apa mama nanti akan nikah lagi?”

“Entahlah nak. Mama masih muda, mama akui, telanjang di hadapanmu membangkitkan sesuatu dalam diri mama yang telah lama terkubur, entah apa lagi nanti yang akan bangkit lagi. Menurutmu gimana, apa kamu kecewa selama delapan tahun ini hidup berdua hanya dengan mama?”

“Mama udah jadi mama terbaik menurut Dana. Kemarin Dana memang sempet gak fokus, tapi kini Dana fokus lagi mah.”

“By the way bus way, mama kok langgar perjanjian sih? Mama buka dulu ah pakaiannya. Mama lapar nih.”

Tanpa bangkit, Diana membuka kancing blus lalu melepasnya. Diana menatap payudaranya yang terbungkus bh merah muda, lalu menatap anaknya melepas kaitan bh.

“Kamu pernah ngintip mama pas lagi hanya pake cd gak?”

“Pernah, tapi liat dari belakang doang,” kata Dana sambil tersipu malu.

“Kayaknya mama udah gak punya privasi lagi sedari dulu ya,” kata Diana sambil meninju tangan anaknya, dengan pelan tentu, lalu melepas bh nya. “Capek gak berusaha lihat ini?” kata Diana sambil memegang payudaranya.

“Apaan, Dana belum ngintip lagi kok,” kata Dana sambil menatap payudara mamanya.

“Dasar nakal.”

“Mah, Dana boleh nanya sesuatu gak?”

“Tentu saja sayang.”

“Setahu Dana, puting kan warnanya coklat, kok yang mama enggak sih?” kata Dana sambil menunjuk puting kiri mamanya.

“Hahaha… papamu dulu juga nanya gitu. Tapi mama suka kok, puting mama jadinya spesial, beda dari yang lain.”

Tanpa disadari jemari Diana mengelus putingnya sambil sesekali menariknya. Karena mata Diana menatap payudaranya sendiri, Diana tak menyadari gundukan di celana anaknya yang tiba – tiba muncul dan mata anaknya yang terus menatap jemarinya.

Diana lalu tersadar, “Kapan makannya kita?”

Diana lalu melepas rok lalu cdnya sendiri. Setelah telanjang, Diana kembali duduk sambil menekan kedua tangannya di belakan tubuh ke kasur.

“Mama lapar nih!”

Mata Dana terpaku ke jembut mamanya.

“Apa mama pernah mencukurnya sampai gundul?”

Diana lalu menatap jembutnya, “Tidak pernah. Selalu begini saja. Emang udah berapa kali liat wanita yang jembutnya gundul?”

“Wanita telanjang yang Dana liat cuma mama aja.”

“Serius? Kamu belum pernah ngapa – ngapain?”

“Tentu saja mah.”

“Terus kamu pernah ngapain aja?”

“Kok jadi Dana yang ditanyain sih. Siapa yang telanjangnya sih?”

“Mama jadi penasaran sih.”

“Hanya pernah ngeraba susu sama ciuman mah. Terus kalau mamah, kapan mama mulai nakal.”

“Mulai nakal? Sebelum sama papamu, mama dua kali pacaran.”

Diana lalu berbaring menjadikan tangannya sebagai bantal. Satu kakinya di tekuk dan kaki lainnya ditumpu ke kaki itu. Tanpa disadarinya Diana perlahan merangsang anaknya.

“Dana boleh tanya yang lain lagi gak?”

“Tanya aja. Udah terlanjur gini kok.”

“Katanya ada bagian tubuh yang kalau disentuh bisa membuat orgasme sambil menjerit. Benar gak tuh?”

Pertanyaan anaknya membuat Diana memikirkan vaginanya dan secara reflek melebarkan paha membuat anaknya dapat melihat vaginanya dengan jelas. Suara anaknya menelan ludah menyadarkan Diana.

“Mama gak tau kalau soal menjerit. Tapi yang pasti memang ada beberapa titik yang sangat sensitif. Ingat aturan main kita, boleh lihat sepuasnya tapi tidak boleh sentuh.”

“Tenang mah, Dana takkan melanggar aturannya. “

Diana lalu menyentuh selangkangannya. Diana melebarkan paha dan menyelipkan jemari ke vaginanya.

“Mama tunjukan ini karena kamu nurut sama mama.”

Diana lalu melebarkan vagina dengan jemarinya lalu jari tengah menyentuh daging kecil. Nafasnya memberat saat jari itu menekan. Dana mendekatkan kepala ke selangkangan yang terpampang di depannya.

“Ini yang disebut klitoris. Sangat sensitif. Nah, di dalamnya terdapa g-spot yang apabila tersentuh bisa membuat wanita orgasme. Tapi jangan berharap jeritan karena jarang yang sampai menjerit.”

Nafas Diana kembali memberat menyadari apa yang dilakukannya di hadapan anaknya sendiri. Tubuhnya sedikit kejang. Diana menggigit bibir mencoba menangan erangan. Diana juga menegangkan otot pahanya. Setelah tak lagi kejang, Diana melepas jemari dari selangkangannya.

“Udah ah pelajaran biologinya. Makan yuk.”

“Makasih mah. Mama bener – bener baik deh.”

Dana membungkuk lalu mencium bibir mamanya sekilas. Tak sengaja dada Dana menekan payudara mamanya. Sentuhan ini adalah sentuhan pertama sejak diberlakukannya aturan, namun Diana membiarkannya. Dana lalu bangkit berbalik dan keluar kamar. Dana merasa seperti anak yang paling beruntung.

Diana masih berbaring. Linglung. Perutnya kembali seperti mules. Diana masih terkesima. Lalu Diana teringat sebuah dildo hadiah dari suaminya yang di simpan di laci. Diana lalu bangkit ingin segera makan agar anaknya cepat keluar. Dana ingin orgasme lagi seperti tahun – tahun dulu, lepas tanpa ditahan - tahan.

Diana masih tak percaya dia orgasme di depan mata anaknya sendiri. Lupakan tujuh tahun tak terjamah, tahun ini mesti beda. Diana senang anaknya akan keluar main. Tak mengejutkan, semenjak Diana tak lagi berpakaian, anaknya selalu di dekatnya. Kini Diana lega anaknya akan keluar hingga bisa membuat Diana menghabiskan waktu sendiri.

Saat sedang mencuci piring, Diana mendengar suara pintu ditutup. Diana tak tahu kapan anaknya pulang maka dari itu Diana memutuskan untuk mengefektifkan waktu. Langsung Diana menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas ke kamarnya.

Setelah menutup pintu kamar Diana mengambil dildo di laci. Dulu Diana beberapa kali memakainya saat bersama suaminya. Namun semenjak kematian suaminya, gairah seksualnya seolah ikut mati.

Diana merebahkan diri sambil memegang vibrator. Jempolnya pun menekan tombol saklar, namun tiada yang terjadi. Pasti batrenya mati, pikir Diana. Untungnya Diana selalu beli batre buat anaknya.

Diana mencoba membuka penutup batre sambil berjalan ke kamar anaknya. Diana pun memutar gagang pintu hingga pintu kamar anaknya terbuka.

Diana pun melangkah masuk mendapati anaknya sedang berbaring, celana ada di lututnya dan tangan ada di penisnya yang tegang.

Diana meminta maaf, berbalik lalu keluar dan menutup pintu kamar anaknya. Diana kembali ke kamarnya sendiri dengan jantung yang berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang. Diana tak bisa menyingkirkan penis anaknya dari pikirannya.

Kira – kira seperempat jam kemudian setelah hatinya tenang, Diana kembali kembali mengetuk kamar anaknya. Setelah suara anaknya berkata masuk, Diana pun masuk. Diana melihat anaknya sedang duduk di depan monitor. Diana pun duduk di kasur bersebelahan dengan kursi yang diduduki anaknya.

“Maafkan mama nak. Mama kira kamu keluar main.”

“Gak jadi mah. Tadi temen bilang ada urusan.”

“Mama gak tahu sih.”

“Iya. Lagian mama ada perlu apa sih?”

“Mama butuh batre.”

“Mama lagi megang apaan tadi?”

Diana merasa malu, “mainan dewasa yang kehabisan batre.”

Akhrinya Dana berbalik. Meski masih merasa malu namun Dana tersenyum jua.

"Mama bercanda ah."

“Gak juga. Mama buru – buru, karena, ingin cepet selesai, sebelum kamu pulang,” Diana bisa merasakan wajahnya memerah.

“Jadi mama mau ngelakuin, ehm, yang mama liat Dana lakuin?”

“Kira – kira.”

Ibu dan anak itu pun saling tatap, lalu keduanya tertawa.

“Maafin mama ya nak,” kata Diana sambil menyeka matanya.

“Iya mah, lagian mama gak salah kok.”

“Mama boleh nanya gak?”

“Ya.”

“Apa kamu sering ngelakuin itu?”

Diana merasa malu melihat anaknya yang terlihat malu.

“Sekarang sih jadi sering setelah mama telanjang terus.”

“Serius dong. Mama tau mama gak jelek – jelek amat tapi, mama kan udah tua. Terus mama juga ibumu.”

“Dana serius kok mah, mama masih cantik.”

“Gombal. Tiap lelaki pasti ngomongnya gitu. Tapi mama seneng masih bisa meng’inspirasi’ anak muda kayak kamu.”

Gambaran Dana memegang kemaluannya muncul lagi di kepala Diana.

Diana pun bangkit, “sekali lagi maafin mama yah.” Setelah itu Diana berbalik menuju pintu.

“Tunggu mah!”

Diana kembali berbalik melihat anaknya membuka laci meja.

“Mama butuh batre apa?”

“Dua batre remot.”

Dana pun menyerahkan batre ke mamanya.

“Mama jangan marah ya, tapi apa boleh kapan – kapan Dana nonton mama?”

Diana menatap anaknya sambil memainkan batre di tangannya. Diana mulai sedikit khawatir akan hal ini.

“Gak tahu. Mama mesti pikirkan dulu, tapi tenang saja mama gak marah kok. Asal kamu jujur dan terbuka sama mama.”

Diana menghampiri anaknya lalu mencium pipi anaknya. Setelah itu Diana keluar kamar namun saat akan menutup pintu anaknya bilang agar biarkan saja terbuka.

Diana melangkah ke kamarnya lalu masuk dan membiarkan pintu terbuka. Diana pun duduk di kasur lalu memasang batre dildo.

Kini, rasanya masturbasi membuat Diana gugup. Padahal ini bukanlah kali yang pertama. Diana juga merasa bangga bisa menahan diri untuk tidak masturbasi hingga sekarang padahal cukup lama dia telanjang di depan lelaki. Mungkin jika dia dan anaknya menahan diri untuk tak masturbasi keadaan akan baik – baik saja.

Namun, tanpa mereka sadari, kejadian ini merupakan awal dari kaburnya batas – batasan yang telah disepakati. Entah sampai kapan hingga salah satunya mulai tak bisa menahan diri.

Sejauh ini tak ada kejadian yang menkhawatirkan. Bahkan kebiasaan buruk Dana mulai menghilang, Dana mulai belajar bertanggung – jawab.

Diana mulai menyalakan vibrator dan melihatnya sebentar. Setelah itu Diana mematikan vibrator dan meletakkan di pangkuannya. Diana tiba – tiba teringat permintaan anaknya.

"Dana, sini nak!" suara Diana agak keras.

Dana memasuki kamar mamanya, “ada apa mah?”

“Gini aja. Tadi mama gak sengaja liat kamu, biar adil mama izinin sekarang kamu liat mama.” Diana mengangkat vibratornya lalu menunjukkannya ke anaknya, “tapi ingat, jangan sentuh apa – apa.”

“Kok mama punya yang gituan sih?”

“Oh, dulu saat mama lagi liat film sama papamu, ada adegan satu wanita main dengan dua pria. Mama iseng bilang ingin nyobain kayak gitu, eh esoknya papamu kasih mama hadian ini.”

“Kayaknya mama dan papa harmonis bener yah?”

“Udahlah nak, jangan bicarain papamu lagi. Sekarang mending kamu duduk aja.”

Dana pun duduk di sisi kasur sedang mamanya berbaring di tengah.

“Papamu beberapa kali nonton mama gini kayak kamu, dulu.”

Diana menatap anaknya yang sedang membasahi bibir dengan lidahnya. Diana menarik nafas dalam – dalam, santai lalu melebarkan kakinya. Diana mendekatkan dildo ke mulutnya. Anaknya mengamati dengan seksama.

“Jangan pernah gunain ini jika masih kering, harus dibasahi dulu.”

Dana mengangguk saat melihat mamanya menempatkan dildo di mulutnya. Dana merasakan kedutan di celananya.

Diana mulai mengulum dildo di mulutnya dengan pelan. Setelah dirasa agak basah, Diana melepas dan mulai menyalakan vibrator. Dana dapat mendengar dengungannya. Diana mulai menyentuhkan vibrator melingkari payudaranya hingga puting. Sedangkan tangan satunya lagi mengelus selangkangannya sendiri.

Erangan Diana mulai terdengar disertai turunnya vibrator dari payudara ke perut, lalu ke sekitar jembutnya. Sementara tangan yang satunya sibuk keluar masuk di selangkangannya. Diana lalu mencabut jemarinya yang kini basah dan menghisap dengan mulutnya.

Diana menoleh melihat anaknya yang menatap dildo. Diana tetap melihat anaknya saat tangannya yang satu mulai memainkan payudaranya. Kini Diana berusaha memasukan dildo ke memeknya yang makin basah. Nafasnya mulai terengah – engah.

Diana mengangkat dadanya dan melepaskan tangan dari payudaranya. Kini tangan yang bebas mulai menyentuh pinggulnya dari belakang. Kini jempol Diana menekan anusnya sendiri. Rupanya jempol itu berusaha memasuki anus. Erangan Diana makin terdengar keras.

Diana berusaha menekan dildonya sedalam mungkin seiring dengan usaha jempol di anusnya.

“Oh, nak….!”

Diana pun mengejang membuat kasurnya gemetas untuk sesaat. Perlahan, Diana kembali bergerak lalu mengeluarkan dildo dan jempol dari selangkangannya. Diana pun berbaring sambil terengah – engah. Anaknya melihat tubuhnya yang penuh peluh.

Diana menyeka dahi dengan tangannya. Rambutnya penuh keringat hingga lengket. Sementara dildo lepas dari tangnnya meski masih bergetar.

“Oh tuhan,” Diana tersenyum sambil menatap anaknya. “Bagaimana?”

“Luar biasa mah!”

“Itu yang kamu inginkan kan?”

“Ya, tapi kayaknya mama ingin pantat mama juga dijamah yah?”

Diana memerah memikirkan apa yang baru saja anaknya saksikan.

“Harus dilakukan dengan benar nak, karena sangat sensitif. Papamu kadang melakukannya, tapi dia bisa berhati – hati.”

Diana lalu berbaring menghadap anaknya.

“Udah impas kan?”

“Iya. Tapi tetep Dana ingin mama ketuk dulu kalau mau masuk kamar.”

Dana mulai tak nyaman dengan rasa sesak di celananya. Dana lalu bangkit.

“Kalau kamu mau, mama bisa sangat menginspirasi. Tinggal ngomong saja sama mama.”

Diana tersenyum mendengar erangan anaknya sambil menutup pintu kamarnya. Diana lalu melangkah ke kamar mandi sambil melihat vibrator basah menggeliat di kasurnya. Diana berpikir dia harus mulai menyetok batre di kamarnya sendiri. Tapi mungkin lebih baik mengambilnya dari kamar anaknya saja.

“Apa kabarnya anak mama yang selalu terangsang ini?”

Diana muncul lalu menempelkan tubuh ke punggung anaknya karena mau mengambil makanan di lemari. Putingnya serasa menggelitiki punggung.

“Ya makin terangsang karena mama nih.”

Diana menatap payudaranya yang menekan punggung anaknya.

“Maaf, abisnya mau ambil makanan sih.”

Diana mundur membuat tubuhnya tak lagi menempel. Dana berbalik dan matanya menatap puting mamanya yang keras.

“Masih pagi gini kok udah keras sih mah?”

“Abis pake handuk sih, jadi gini nih,” kata Diana sambil mengelus puting dengan telapak tangannya.

“Ceria bener pagi ini mah.”

“Iya dong. Kan biar semangat.”

“Mau ngapain aja mah hari ini?”

“Gak tau. Kamu maunya mama ngapain aja?” tanya Diana sambil menggoyangkan bahunya. Otomatis payudaranya pun ikut bergoyang.

“Gimana bisa mikir kalau perut kosong mah.”

“Ya udah. Mama bikin panekuk aja ah. Biar bikinnya sambil goyang.”

Dana duduk lalu tertawa, “goyang sambil bugil.”

Diana lalu membungkuk untuk mengambil wajan dari bawah lemari sambil menggoyangkan pantatnya, “goyang wajan nih.”

Bebepara saat kemudian setelah panekuk matang, keduanya pun sarapan.

“Apa anak perkasa ini mau menolong mamanya yang udah tua dan telanjang?”

“Siap. Mama kan tau caranya memotivasi tanpa busana.”

Dana tersenyum melihat mamanya tertawa.

“Apa mama juga suka telanjang di depan papa?”

“Gak juga. Tapi sehabis ngelakuin sesuatu, kayak ngebikin kamu, kadang mama telanjang sampai sore atau malam.”

“Mama dan papa aneh juga ya?”

“Mama saling mencintai. Jadi mama dan papa hanya bersenang – senang saja. Lagian meski tua, namun tak mesti berpikiran kolot.”

“Jadi menurut mama, anal seks, masturbasi dan bicarain trisom, normal gitu?”

Diana menunjuk ke anaknya, “Hei, trisom hanyalah fantasi. Lagian bukan salah mama kalau papamu suka pantat. Urusan ranjang mama juga gak perlu jadi urusanmu. Wew,” Diana lalu menjulurkan lidah ke anaknya.

Dana mengangkat alis mendengar pengakuan baru mamanya.

"Dana tahu cara ngabisin waktu hari ini mah."

"Oh ya, ngapain tuh."

“Tapi, mama jangan marah ya…”

Diana memotong ucapan anaknya, “akhir – akhir ini kamu doyan bener bener bilang gitu?”

“Abisnya, mama telanjang sih. Bukan salah Dana kalau terangsang.”

“Iya. Jadi apa yang mau kamu katakan?”

“Yah. Pokoknya gak kan melewati batas kok.”

“Baik. Kalau gak ngelanggar aturan sih mama gak keberatan kok.

“Janji ya mama takkan marah. Meski Dana selalu terangsang, tapi Dana selalu nurut. Hanya saja kini Dana makin penasaran.”

“Terus.”

“Dana,” mata Dana kini menatap meja, “ingin lihat seperti apa sih anal seks itu.”

“Apa? Kamu ingin mama bawa pulang pria lalu memberi pantat mama cuma – cuma demi memenuhi rasa ingin tahu kamu?”

“Bukan begitu mah. Tapi pake mainan mama.”

“Pake itu? Sambil ditonton kamu? Kenapa gak cari tahu di internet saja?”

“Internet? Itu sih palsu mah.”

“Mama tak percaya kamu ingin nonton mama pake dildo di pantat mama sendiri.”

“Juga sambil Dana fotoin yah mah.”

Diana terkejut mendengarnya.

“Mama kan udah pernah sama papa. Lagian Dana gak bakal pegang – pegang kok, jadi jangan marahi Dana dong.”

Diana menggeleng, “Mama kayaknya ngelahirin maniak. Biar mama pikirkan dulu. Memang itu tak melanggar aturan kita, namun kayaknya terlalu jauh melangkah. Kalau mama menolak apa kamu jadi gak mau bantuin mama?”

Dana memutuskan saatnya untuk pergi dari dapur. “Tentu tidak mah. Meski mama menolak Dana tetap akan membantu kok. Panggil saja kalau ada yang harus dikerjain mah. Cuma tadinya Dana takut mama marah.”

Dana pun bangkit lalu menuju ke kamarnya untuk main komputer.

Di dapur, Diana beres – beres. Lagi, perutnya kembali dilanda mules. Setelah beres, Diana ke kamarnya lalu duduk di kasur sambil berpikir. Memainkan dildo ke pantat tak bisa disebut normal jika dilakukan di depan anak sendiri. Apalagi sambil di foto. Diana tak terlalu mengkhawatirkan hasil fotonya. Setelah melihat betapa anaknya menjadi termotivasi dan penurut membuat Diana percaya padanya. Permintaan anaknya sangatlah liar meski tanpa sentuhan.

Diana tak ingin membuat anaknya marah. Jadi sepertinya tak berbahaya asal masih dalam aturan. Apalagi dia telah masturbasi dua kali. Bahkan menyentuhkan jemari di anus. Tak heran anaknya jadi penasaran soal anal seks. Diana kembali teringat saat mengambil wajan sambil menggoyangkan pantat. Diana berpikir mungkin anaknya seperti suaminya.

Diana teringat per – anal – an dengan suaminya. Diana juga ingat betapa nikmatnya orgasme yang dirasakan saat masturbasi sambil ditonton anaknya. Diana jadi merasa bersalah menyebut anaknya saat orgasme, bukan menyebut suaminya.

Tak pernah terpikirkan oleh Diana untuk menggantikan suaminya dengan anaknya. Namun, Diana akui ketegangan seksual di rumahnya makin meningkat setelah Diana memutuskan telanjang. Diana kembali memikirkan saat – saat bahagia dengan suaminya. Begitu indah, liar dan nikmat. Kini, semuanya telah hilang.

Suaminya kurang suka diajak belanja. Jadi, untuk memotivasi suaminya, Diana membuat sebuah permainan kecil. Jika sedang belanja, suaminya menantang dia untuk melakukan lima hal, jika ada satu yang tak dipenuhi maka Diana kalah. Pun sebaliknya. Hadiahnya, ya seks.

“Dingin bener nih kulkasnya. Biar agak angetan dikit, taruh bh mama di kulkas,” suaminya menyeringai sambil menunjuk kulkas yang ada di supermarket. Diana pun melepas kaitan bh, menarik tali dari lubang lengan bajunya hingga lepas. Kemudian menaruh bhnya ke kulkas.

“Papa hutang bh baru,” Diana pun berbalik dan melangkah.

“Di bagian roti kok gerah bener yah. Buka aja cdnya di sini mah.”

Diana berhenti lalu menoleh ke suaminya, “Itu ngomong doang atau tantangan pah?”

“Kamu takut ada yang liat? Itu tantangan mah.”

Diana menatap suaminya sambil menyeringai. Diana melangkah ke sudut bagian roti, mengangkat roknya, menggoyangkan pantat, menurunkan cd lalu mengangkat kaki untuk melepasnya.

David menoleh mendengar suara wanita tua yang menggerutu kepada pria tua yang menatap Diana. David ingin Diana menyadari kehadiran pasangan tua itu, maka David menunjuknya. Diana tertawa menyadari apa yang David tunjuk.

Diana tersenyum sambil mengelus seprai. Delapan tahun tanpa belaian lelaki membuatnya gila. Diana tak pernah menyadari perubahan yang terjadi sepeninggal suaminya.

Meski menyukai pantat, namun David bisa dibilang wajar; munkin anaknya pun demikian. Kematian suami membuatnya sadar betapa kita tak tahu kapan kehidupan ini akan berakhir. Pikiran erotis itu membuat Diana sadar sekaligus menggelengkan kepala.

Diana pun melangkah mengambil hand body, kamera saku digital dan dildonya. Setelah terkumpul Diana pun duduk.

“Sini nak!” teriak Diana lantang.

“Tunggu mah,” jawab Dana sambil bergegas ke kamar mamanya.

Diana merasakan jantungnya berdetak lebih kencang mendengar suara anaknya mendekat.

“Mau ngapain dulu kita mah?”

“Nih,” Diana melemparkan kamera ke anaknya.

“Kamu ingin mama ngapain dulu?” Diana menunjukan bodylotion dan dildo ke anaknya.

“Maksudnya apa mah?”

“Misalnya berbaring dulu, terlentang atau berlutut.”

“Maksud mama ada banyak cara?”

“Duh, kayaknya bakal jadi masalah kalau mama kasih tahu semua yang mama tahu. Mau telungkup,” Diana lalu telungkup, melebarkan pahanya. “Atau sambil berlutut,” Diana berguling lalu bangkit berlutut. Diana menoleh ke anaknya.

“Gitu bagus mah.” Dana menatap kamera di tangannya. Merasa sangat beruntung. “Setelah selesai boleh dipindahin ke komputer kan mah?”

Diana menatap anaknya sambil memuntahkan hand body ke tangannya. “Apa mama perlu menambah aturan soal foto juga?”

“Tenang mah. Tak akan ada yang tahu kok.”

Dildonya kini dilumasi hand body. “Ingat, yang kayak gini mesti dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. Wanita bukanlah daging yang bisa diolah seenaknya untuk kesenanganmu sendiri. Wanita juga punya perasaan dan emosi. Hormatilah selalu itu!”

“Gini aja mah. Kalau mama memang tak nyaman, mending gak usah diteruskan deh. Lagian Dana juga gak kan marah kok.”

“Makasih nak. Tapi mama rasa gak apa – apa kok. Kamu memang kayak papamu.”

Dana bisa melihat wajah mamanya yang penuh semangat.

“Biasanya pria membantu melumasi. Namun dalam kasus kita tentu tidak. Jadi mama memakai jari sendiri untuk melumasi pantat mama.”

“Makasih mah.”

Diana mendengus tertawa kecil.

Dana melihat jemari mamanya perlahan masuk ke anus. Lalu tangan yang lain menyemprotkan hand body ke anus. Setelah itu jemari lainnya mencoba masuk. Kini telunjuk dan jari tengahnya sedang berusaha memasuki anus mamanya. Kedua jemari itu bergerak berputar di dalam anus. Hand body kembali disemprotkan dan kini tiga jari yang menari. Kembali dilumasi, empat jari pun keluar masuk membuat suara yang terdengar erotis di telinganya.

Diana melepas jemarinya lalu meraih dildo. Jempolnya berada di tombol.

Dana melihat lubang anus mamanya membuka lebar.

Diana menyentuhkan ujung dildo ke anus. Diana menatap anaknya yang berdiri menganga, “Halo nak, mama udah siap nih!”

“Apa mah?”

“Pake kameranya dong!”

Setelah kamera itu berada di depan wajah Dana, Diana mulai memasukan dildonya.

“Uh… Kalau kamu ngelakuin ini sama cewek, mesti pelan – pelan karena awalnya sangat tak nyaman,” kata Diana sambil menggerakan bibirnya. “Jangan pernah lakuin tanpa pelumas!”

Diana berhenti sejenak saat setengah dildo sudah masuk. Dia bisa mendengar suara tombol kamera ditekan. Setelah itu Diana melanjutkan aksinya.

“Kita biarkan dulu sejenak.”

Diana menggoyangkan pantatnya sambil mengawasi anaknya yang sibuk memakai kamera.

Akhirnya, tangan Diana mulai menarik kemudian mendorong lagi dildo itu. Dana mulai semakin sibuk dengan kameranya.

“Kamu menikmati pertunjukannya? Dasar anak sesat!”

“Bercanda terus ah mah.”

“Dulu papamu bahkan memakai video, bukan kamera kecil kayak gitu.” Tangan Diana mulai bergerak cepat.

“Apa? Di film mah?”

Diana tertawa melihat anaknya sibuk mengutak – atik kamera. Diana menunduk dan mulai mendorong dildo di anusnya lagi. Nafasnya mulai memburu.

“Oh, oh, oh.” Diana menjerit lalu lunglai jatuh ke kasur saat tubuhnya gemetar. Tangannya kini berada di sisi kepalanya. Saat berbaring otot anusnya membuat dildo itu perlahan keluar dan jatuh ke kasur.

Dana melihat anus mamanya membuka – tutup berulang – ulang.

"Keren," kata Dana sambil memainkan zoomnya.

Diana mendengar jelas kata – kata anaknya. Tapi kesenangannya membuat Diana mengangkat pantat dan melebarkan paha ke arah anaknya.

“Goyang pinggul goyang pinggul oh asiknya,” suara Diana terdengar serak.
Setelah bergoyang Diana pun lemas dan tergolai di kasurnya. Wajahnya penuh keringat.

“Kamu mesti bantu – bantu mama abis ini.”

“Iya mah, abis mindahin ke komputer.”

Dana bangkit lalu menghilang keluar. Diana meraih dildo di sampingnya lalu menatapnya. Memang tak sama seperti saat bersama suaminya dulu. Tapi untuk sekarang rasanya cukup. Tiba – tiba Diana tersenyum lalu memasukan dildo itu ke mulutnya. Diana tetap mengulum dildo sambil melangkah ke kamar mandi. Sayang anaknya tak melihat ini, batin Diana.

"Oh Tuhan, menjijikkan" Diana terhenti menatap ke kamar anaknya.

Di monitor terlihat film Diana sedang mendorong dildo ke pantatnya. Diana lalu masuk dan duduk di kasur anaknya.

“Sampe diperbesar gitu? Tunggu, mama punya tanda di sana?” Diana lalu berputar menatap pantatnya sendiri.

Ibu dan anak itu menonton video dalam diam. Hingga dildo keluar dan sang ibu menjatuhkan diri di kasur.

“Menjijikan yah,” kata Diana sambil menutup wajah dengan tangan, namun matanya mengintip dari sela – sela jemari.

Dana tertawa, “Hahaha, kalau liat film horror juga mama bilang takut, tapi sambil ngintip.”

“Orang – orang mestinya jangan liat orang lain terbunuh; apalagi melihat mama mainin anus mama pake dildo,” kata Diana sambil melempar bantal ke anaknya. “Pokoknya, kalau sampai ada yang melihat rekaman ini, mama bersumpah akan membunuhmu.”

“Baiklah Nona Cerewet. Akan saya matikan,” kata Dana lalu menutup media playernya.

“Ya tuhan, gambar mama lagi telanjang kok dijadiin latar belakang sih? Gimana kalau temanmu melihat? Udahlah, gak akan ada yang lihat rekaman mama karena sekarang kamu akan mama bunuh.”

“Tenang mah. Kan ada dua akun. Yang pertama kalau yang log innya Dana. Sedangkan kalau temen pake akun umum.”

Diana melihat pantatnya memenuhi hampir seluruh layar dengan dildo menancap dan

Diana sembur. Dia melihat gambar pantatnya mengisi sebagian besar layar dengan setengah penis karet mencuat dari anusnya dengan kepala hanya terlihat di bahu di latar belakang.



“Kok pake gambar yang itu sih? Pantat mama jadi terlihat super besar.”

“Kan gambarnya juga cuma sedikit mah. Tapi Dana siap fotoin lagi kok.”

“Tidak. Yang terakhir aja bisa jadi masalah.”

“Tapi mah, hasil kamera ini adalah hasil terindah yang pernah Dana lihat.”

“Bercanda aja. Mama sih lihatnya kayak lihat film porno tua. Hanya saja tanpa musik latar.”

“Kalau mama mau Dana bisa tambahin musik kok mah.”

“Bukan gitu maksud mama,” Diana menatap monitor lagi lalu bergidik. “Jorok bener gambarnya, kamu kok bisa tahan melihatnya sih?”

“Mah, Dana tahu mama sudah empat puluh tahun lebih, tapi mama masih cantik. Ditambah susu dan pantat mama yang montok.”

“Dasar kamu aneh,” Diana tertawa, “pokoknya gambar itu mesti dihapus!”

Dana melambaikan tangan tanda tidak sambil menyeringai pada webcam.

“Tidak, tidak, tidak. Kamu udah bikin mama gak pake baju. Kamu udah liat mama sepuasnya, bahkan kamu udah jadiin mama bintang film porno…”

“Kamera kan ide mama.”

“Jangan ngeles.”

“Iya. Kayaknya nyonya terlalu banyak protes.”

“Pokoknya hapus.”

“Enggak”

“Dana dapet apa kalau ngehapus ini?”

“Apa? Kamu mau sesuatu? Dasar mesum!”

“Bukankah mama yang pertama ngajarin tawar – menawar!”

“Mama sungguh tak percaya ini. Baiklah, kamu mau apa?”

“Foto lain lagi.”

“Iya, tapi sedikit.”

“Tapi Dana suka gambar latar ini mah. Banyak dong.”

“Gak adil itu. Masa satu gambar ditukar banyak gambar,” Diana memainkan suaranya agar terdengar seperti lebih simpati.

“Suaranya gak usah dibuat – buat mah.”

“Oke, terus mama dapet apa dong?”

“Hah?”

“Kok malah bengong sih? Kamu kan pintar negosiasi.”

“Emang apa yang bisa Dana kasih?”

Diana ingat saat memergoki anaknya yang sedang memegang kelaminnya. Diana lalu menyeringai ke anaknya.

“Wajah mama kok aneh gitu sih?”

“Inilah mamamu, hehehe…”

Dana menyeringai, namun Diana menunjukkan telunjuk ke wajah anaknya.

“Kamu ingin ngambil banyak foto mama demi menghapus foto yang gak mama suka dan …”

Diana menghentikan sebentar suaranya, Dana menatap cemas.

“… kamu masturbasi hingga keluar sambil diliat mama.”

“Apa?!? Tidak mungkin!”

“Bener nih gak setuju?”

“Tapi, Dana ambil banyak foto mama dan juga film baru.”

“Film apa?”

“Seperti yang pertama, cuma kali ini sambil nungging.”

“Kamu memang aneh. Doyan bener sama pantat.”

“Kan gara – gara mama juga. Siapa suruh liatin pantat montok mama.”

“Dasar aneh.”

“Jadi, Dana masturbasi di depan mama, terus mama yang nentuin latar belakang monitor. Mama beri Dana film baru dan foto baru yang banyak.”

“Maksud banyak?”

“Sampai Dana bosan.”

“Emangnya kamu bisa bosan?”

“Dana kan masih muda mah.”

“Baiklah. Mama akan obok – obok pantat mama sementara kamu filmkan dan fotoin. Tapi sebelumnya kamu masturbasi dulu, telanjang tentunya.”

“Tapi Dana pasti butuh rangsangan dulu dong mah. Mama bikin film aja dulu lalu Dana mulai lepas pakaian.”

“Baik, bikin film dulu tapi harus telanjang.”

“Baik. Tapi kalau libur kita pergi liburan mah.”

“Apa? Banyak bener keinginanmu. Kenapa gak kamu pikirkan dulu sebelum mama mulai melepas pakaian mama?”

“Kan mama yang bilang ‘lihat pantat mama agar Dana bisa berubah.”

“Ya, tapi kini pantat mama yang terus dilihat, malah diobok – obok.”

Dana mulai menghitung memakai jemari, “Ayo kita hitung, telanjang, masturbasi, gambar latar, film anal baru, banyak foto, liburan dan bersedia difilm lagi nanti.”

“Kamu pasti cocok kalau kerja jadi politisi.”

“Enggak deh. Jadi gimana, Telanjang, masturbasi, gambar latar, film, foto, liburan, setidaknya dua film lagi.”

“Menyebalkan.”

“Bener gak mau?”

“Mama muak sama per – pantat – an.”

Dana lalu memutar kepalanya dari yang tadinya menghadap monitor menjadi menghadap mamanya.

Diana melihat lagi gambar pantatnya yang dijadikan gambar latar, lalu bergidik.

"Baiklah, setuju."

Ibu dan anak itu saling tatap. Dana mengangkat alisnya, Diana menggeleng. Keduanya lalu berdiri. Dana melingkarkan tangan ke bahu mamanya sambil berjalan ke luar.

“Lebih baik bikin filmnya di ruang tv aja. Biar pencahayaannya lebih jelas dan latarnya sofa hitam.”

“Maksudnya?”

“Biar Dana lebih mudah beresin sofanya mah.”

“Mama benci kamu,” kata Diana sambil memukul lengan anaknya.

“Bukankah anak – anak kebanyakan dibenci mamamnya. Dana kan cuma kasih kesempatan mama main film berkualitas.”



Diana menghentikan langkahnya lalu menatap anaknya.

“Apalagi?”

“Berkualitas?”

“Mama masih punya handycam kan?”

“Handycam? Jangan!”

“Jadi mama mau film mama terlihat seperti film porno jadul? Sekalian aja tambah musik latar murahan.”

“Mama makin benci kamu.”

“Terserah mama, mau terlihat kuno atau cantik?”

“Sekalian aja mama pake make-up, minyak zaitun dan high heel.”

“Ide bagus tuh mah!”

“Ya, tapi mama hanya bercanda. Dasar anak aneh.”

“Gak bosan mah bilang gitu?”

“Anak aneh!” kata Diana sambil menunjukkan telunjuk ke dada anaknya.

“Mama makin galak sih? Lagian, kalau pake make-up, minyak zaitun dan high heel kan Dana jadi bisa nyeting kameranya dulu. Ntar jadinya pasti bagus mah. Kalau tidak, mungkin gambar latarnya takkan berubah mah.”

“Baik, make-up, minyak zaitun dan highheel. Biar sekalian filmnya menang kontes film.”

Diana pun melangkah menuju kamarnya sementara Dana diam berpikir kapan terakhir kali memakai handycam.

“Hei nak.”

Dana melihat arah suara yang ternyata di pintu. Mamanya sedang berdiri membelakangi, lalu rukuk dan menggoyangkan pantatnya sambil berkata goyang pinggul, goyang pinggul. Setelah itu mamanya tertawa lalu menutup pintu.

“Malah mama yang bilang Dana aneh.”

Dana tersenyum. Pasti akan menyenangkan nanti, batinnya.

Setelah mandi, Diana duduk di kasur sambil mengeringkan rambut. Diana merasa senang dengan apa yang akan terjadi namun Diana juga merasa tak senang akan sikap anaknya yang mulai arogan. Diana merasa sudah waktunya mengajarkan anaknya bahwa kalau bermain api bisa berakibat kebakaran.

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Aku, Ibu dan BibiKu

Namaku Riko, usiaku saat ini 16 tahun, baru saja naik kelas 2 SMU. Aku adalah anak semata wayg orangtuaku. Ayahku, Gito, 40 tahun, seorang pegawai swasta, dengan posisi sudah mapan, ibuku, Santi, 36 tahun, juga bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta. Secara ekonomi keluarga boleh dibilang mapan menengah ke atas. Kami sekeluarga tinggal di kota Jakarta. Ayahku sendiri berasal dari kota Semarang, sementara ibuku berasal dari sebuah desa di dekat kota Tasikmalaya. Kalau aku, ya karena lahir dan besar di kota Jakarta, lebih merasa sebagai orang Jakarta saja tuh.

Ayah Mertua, Suami BaruKu.

Namaku Fara, usiaku baru saja menginjak 26 tahun. Aku telah menikah dengan mas Budi (nama suamiku) selama lebih dari 5 tahun. Pernikahan kami dapat terbilang langgeng, tentram tanpa adanya gangguan ataupun masalah yang berarti. Begitupun dengan hubungan birahi kami, semua berjalan lancar seperti pasangan-pasangan lainnya. Bertahun-tahun aku dan suamiku memiliki kehidupan seks yang bagus, dan dia benar-benar bisa memuaskan nafsu birahiku. Berbagai macam literature kami baca dan pelajari guna mendapatkan ide serta masukan baru guna mempererat tali birahi kami. Mulai dari koran, majalah, novel stensilan, hingga internet, mengisi keseharian kami berdua.

Kampung Di Tepi Hutan Jati

Pagi yang indah,Dargo menikmati kopinya dengan duduk di teras depan rumahnya,sesekali melambai dan menyahuti sapaan orang orang yang melintas di depan rumahnya,jalan desa kecil yang hanya ramai bila pagi dan sore hari ketika warga kampung berangkat dan pulang dari sawah,maklumlah desa itu hanyalah desa kecil di tepi hutan jati. Dargo sendiri hanyalah anak desa biasa,bapaknya Suhadi,45 tahun,seorang petani yang beruntung memiliki sawah yang lumayan luas.Ibunya Haryani,biasa dipanggil Yani, 35 tahun, hanya seorang ibu rumah tangga biasa.Nanta sendiri sekarang kelas 2 di smu negeri satu satunya yang ada di kecamatan.