Langsung ke konten utama

Cara Memotivasi Anak 3

Semakin hari Diana merasa anaknya semakin Dewasa, semakin berpandangan terbuka. Kesepakatan ini sepertinya hal yang sangat disukuri Diana.

“Kok gitu?”

“Mama kan mama kandung Dana. Akhir – akhir ini Dana bener – bener seneng main sama mama. Tapi, tentu ini gakkan selamanya. Apa pun yang terjadi, Dana tetap anak mama, gak akan pernah jadi pria, atau bahkan suami mama. Tapi tentu teman Dana gak akan seperti Dana. Apalagi saat kita liburan nanti.”


“Emang kamu mau mulai ngerayu mama ntar pas liburan?”

“Ya enggak dong. Dana juga kan tau batas. Meski kadang tak kenal kompromi, keras hati dan setegar besi. Cuma, Dana akui, dan juga meski sama – sama kita akui, rasanya sangat berat dilarang menyentuh apalagi membicarakannya kepada seseorang. Meski kini bu Dewi tahu, tapi itu kan temen mama.”

“Memang kenapa? Hanya karena mama bisa dengan mudah hidup tanpa sehelai benang di sini, bukan berarti di tempat lain juga sama. Lagian, tubuh ini telah mengalami pelbagai macam cobaan hidup. Tubuh mama kini tak seindah tubuh mama yang dulu.”

“Omong kosong. Justru mama sangat seksi. Coba perhatikan. Tiap kali kita jalan, pasti banyak mata lelaki menatap mama. Apalagi temen Dana pasti juga suka.”

“Kamu mau mama batalin ngajak temenmu gak?”

“Entahlah. Kalau batal ngajak mereka, mungkin Dana jadi bakal terlihat brengsek di mata mereka. Tapi kalau jadi, mungkin bisa memulai ke hal – hal lain.”

Hening. Keduanya menghela nafas berbarengan meski tak pernah membuat janji. Menyadari itu keduanya pun saling menatap.

“Gimana semalam, kamu seneng kan liat dua wanita telanjang?”

“Yang satu sih gak telanjang. Apa bu Dewi bener – bener pingin ngulang lagi?”

Diana memukul anaknya, “Kamu gak pernah puas ya?”

“Dana hanya gak enak sama Dewo,” kata Dana sambil menunduk.

“Tinggal kamu pikir aja sama Dewi. Memang gak enak nutupin sesuatu dari seseorang. Bahkan pada titik tertentu, bisa membuat seseorang kecewa dan atau marah. Meski kamu tak bisa disebut curang. Mending kamu biarkan bu Dewi menanganginya. Lagian, dia lebih paham hal ginian disbanding kamu. Mama yakin kalau memang sudah pada waktunya, dia bakal memberi tahu Dewo. Tinggal kamu siapin aja mentalmu setelah Dewo tahu. Siapa tahu dia malah bersyukur.”

“Main kartu lagi, cuma ditambah Dewo. Dana sih seneng, kecuali liat Dewo telanjang. Najis tralala…”

“Mama yakin bu Dewi juga bakalan kembali seperti dulu. Kayak mamamu ini.”

“Maksud bu Dewi tentang ganti pasangan tuh apaan sih mah?”

“Ya beberapa pasangan bersetubuh bersama, kadang saling berbagi pasangan. Namanya swinger.”

“Emang di sekitaran kita ada mah?”

“Iya dong. Kami kadang melakukannya. Anggap saja hiburan orang dewasa.”

“Trus kira – kira ke depan bakal ngelakuin kayak gitu lagi gak?”

“Mama ragu. Kita gak semuda kayak dulu lagi. Sekarang udah pada sibuk sama keluarga masing – masing. Mama kira kamu hanya akan melihat hal kayak semalam aja, serta yang kita sering lakuin.”

“Kalau bu Yanti gimana mah?”

“Haha… Kamu gak puas ya cuma liat dua wanita…”

“Gaya hidup dia udah bikin dia bahagia. Mama ragu dia mau ngikuti mama sama Dewi. Dewi sama Jefri mungkin saja bisa diajak tukar pasangan. Kalau sampai terjadi, emang kamu mau?”

“Apa? Dana sama bu Dewi? Entahlah mah, bisa – bisa Dana dimutilasi Dewo. Tapi tak mungkin, ku tak berdaya, hanya mampu menunggu jawabnya.”

“Mari berandai – andai. Kita anggap tiada yang namanya Dewo. Setau mama, Dewi bahkan kemungkinan besar gak keberatan.”

“Entahlah mah, aneh juga kalau Dana pikir. Terlalu ganjil. Bu Dewi memang masih menarik, tapi rasanya pasti aneh. Mungkin juga mama bakalan marah, iya kan?”

“Pertanyaan yang bagus. Yang pasti mama gakkan cemburu. Mama masih menunggu seseorang yang tepat untuk mengisi hidup mama. Mumpung kamu masih perjaka, sebaiknya wanita yang bakal jadi istrimulah yang jadi yang pertama dan satu –satunya bagimu. Biar lebih intim. Itulah alasannya mama sama ayahmu tak pernah berbagi pasangan. Meski ayahmu bukanlah yang pertama, tapi dialah satu – satunya lelaki mama. Tapi kalau kamu memang mau sama bu Dewi, mama takkan melarang kamu. Bukan juga berarti mama menyuruh kamu. Mesti kamu ingat, dia itu masih punya suami juga ibu dari temenmu. Meski kamu pikirkan Dewo jika kamu ingin pertemanan abadi.”

“Itulah yang bikin Dana bingung.”

“Mama bangga sama kamu nak. Apa yang telah kita lalui kamu lakukan tanpa melanggar aturan awal kita.”

Tangan Diana kini bergerak membuat anaknya kini berada dalam pelukannya. Namun setelah beberapa saat, anaknya berontak hingga pelukan itu pun lepas.

Diana menatapnya.

“Dana juga normal mah. Dana gak bisa lama – lama bersentuhan sama susu kembar mama tanpa didinginkan dulu. Mandi misalnya.”

Dana tertawa mendengar penjelasan anaknya lalu menatap payudaranya sendiri. Meski tidak besar, namun terlihat pas proporsional. Sambil melihat putingnya, Diana melirik benjolan di celana anaknya yang baru saja disadarinya kini muncul.

“Nih special buat kamu lihat,’ kata Diana sambil mengangkat susu dengan tangannya lalu mengarahkannya ke anaknya. “Emang kamu rela berbagi pemandangan ini ntar?”

“Udah ah. Mending maen lagi yuk.”

Keduanya bangkit lalu mengambil remot wii masing – masing. Keduanya kembali bermain voli sambil jingkrak – jingkrak.

Namun Dana terus kehilangan point karena matanya tak bisa berkonsentrasi. Mata muda itu terpecah perhatiannya antara boli voli di monitor dengan bola daging di dada mamanya yang berkilauan karena penuh peluh bercucuran. Diana tahu anaknya sedang memperhatikannya. Namun, bukannya risih, Diana malah sengaja bergerak kian kemari supaya susunya ikut bergerak – gerak.

Pertandingan menjelang detik – detik terakhir. Saat Dana akan melakukan upaya terakhir, tiba – tiba mamanya memanggil membuat Dana menoleh. Saat Dana menoleh, terlihat mamanya sedang nungging dimana celana dalamnya melorot sebatas lutut sehingga nampaklah pantat mamanya yang basah oleh keringat itu bergerak – gerak ke kiri kanan sambil bergoyang. Disuguhi pemandangan seperti itu maka buyarlah sudah konstentrasi Dana.

“Yes, mama menang lagi,” teriak Diana kegirangan sambil menggoyangkan pantatnya.

“Mama doyan bener nampilin asset mama. Bikin Dana mesti kerja keras nih di kamar,” kata Dana sambil melangkah meninggalkan mamanya.

“Tunggu nak.”

Dana menghentikan langkah lalu berbalik menatap mamanya.

“Mama paham betapa kerasnya,” kata Diana sambil menatap gundukan yang tiba – tiba muncul di celana anaknya, “kamu mencoba menahan diri. Mama tahu kamu gak mau melewati batas perjanjian ini, baik itu perjanjian lama maupun perjanjian baru, apalagi melewati batas cakrawala. Tapi mama justru bangga dengan sikapmu yang tak kenal kompromi, keras hati dan setegar besi.”

Diana menghentikan dulu ocehannya sebentar, nampak berhati – hati sebelum memulai lagi.

“Maka, atas dasar keteguhanmu itu membuat mama ingin memberi hadiah. Suatu hadiah yang secara teknis tidak melanggar atau bahkan menembus batas – batas yang telah kita sepakati bersama. Kalau kamu mau, kamu boleh mengolah ragakan tanganmu di sini sambil melihat mama yang mencoba memberi inspirasi.”

Setelah berkata – kata, Diana lalu membalikan badan hingga membelakangi anaknya. Setelah itu tangannya mengelus – elus pantat dan sesekali meremasnya.

Mata Dana membesar dan tangannya reflek mengelus selangkangannya yang masih terbungkus celana.

“Udah gak usah malu, lepas aja tuh celananya. Kayak mama gak pernah lihat aja,” kata Diana sambil terus meremas pantat. Namun kini tangan kanan Diana mulai bergerak ke arah susunya dan terus bermain di situ sementara tangan kirinya tetap di pantatnya.

Dana menggeleng sambil melepas celananya hingga nampaklah teman kecil mamanya itu.

Diana menatap kontol anaknya lalu berlutut di depannya. Dana terlihat sekali ingin menyentuh tubuh mamanya namun berusaha semaksimal mungkin untuk tidak melakukannya.

“Dasar kamu nakal. Sekarang hadiah yang tadi mama janjikan. Ingat gak kesepakatan kita. Kamu sama sekali gak boleh menyentuh. Tapi gak ada poin yang melarang mama. Jadi dengan kata lain, kamu gak boleh menyentuh sedang mama boleh. Paham?”

“Enggak mah, Dana gak paham. Tapi terserah mama dah.”

“Dasar kamu kalau udah nafsu otaknya mendadak buntu. Nih liat, tangan mama gak menyentuh kamu.”

Diana lalu memengan susu kanan dengan tangan kanannya. Serta susu kiri dengan tangan kirinya. Lalu belahan susunya itu dimajukan hingga kini menempel ke kontol anaknya. Tak hanya itu, kini ditekannya susu itu hingga kontol anaknya berada di antara susunya. Setelah berada di antara susu itu, tangan Diana bergerak – gerak seolah menekan membuat kontol itu seperti diremas – remas oleh susunya.

Gosokan serta remasan susu mama pada kontolnya membuat Dana serasa melayang. Meski Dana sadari dia tak pernah melayang. Ingin tangan Dana mengelus dan meremas rambut mamanya, namun Dana tak ingin menembus batas. Alhasil, tangan itu kini meremas rambutnya sendiri menahan kenikmatan tak tertahankan yang dihadiahkan mama kepadanya.

Diana terlihat bersemangat saat memainkan kontol anaknya dengan susunya. Suara anaknya makin tak jelas namun nalurinya sebagai seorang ibu membuat Diana paham bahwa anaknya akan segera orgasme. Begitu muda, begitu penuh semangat, batin Diana. Diana merasakan kontol anaknya mengejang, lalu sekejap kemudian menyemburlah lahar panas dari kontol anaknya yang langsung mendarat di rambut serta pipinya. Namun di saat – saat akhir lahar itu mengalir pelan dari kontol hingga membasahi susunya.

Diana mundur sedikit hingga lepaslah kontol anaknya dari susunya. Diana menyentuh peju anaknya lalu meratakannya hingga seluruh susunya terolesi. Diana agak lama mengusap – usap putingnya. Diana lalu menyeka peju yang ada di pipi dan rambutnya dengan jemari. Setelah jemari itu dipenuhi peju, jemari itu lantas dijilatinya hingga bersih.

“Mama suka banget ya peju Dana?”

Diana menatap kontol anaknya yang masih bergetar. Diana lalu kembali membungkuk mendekatkan kepalanya ke kontol anaknya. Diana lalu menjilat kontol anaknya sebentar lalu menatap anaknya.

“Yah, kamu orang ketiga yang pernah mama cicipi rasanya tapi, mama ya suka aja.”

Kontol Dana tekejut hingga kembali tegang dibuatnya setelah mendapat kejutan jilatan meski hanya sekejut saja.

Akhirnya Diana menyenderkan tubuh ke sofa sambil melihat kontol anaknya yang kembali tegang dan berkedut – kedut. Diana lalu memberi ciuman lembut di bibir anaknya. Setelah itu Diana bangkit menuju kamarnya.

“Udah ah mama mau mandi dulu. Ntar mau ngumpul sama temen mama. Kalau kamu belum puas, lanjutin aja sendiri.”

Mamanya pun hilang dari pandangan. Kini pandangan itu beralih ke kontolnya sendiri. Dana langsung duduk di sofa.

Hm… Meski hanya berdua dengan mama, namun sepertinya takkan sampai bosan hidup.

***

“Gimana penampilan mama?” kata Diana sambil berdiri di pintu kamar anaknya.

“Tergantung. Kalau mama ingin menggaet lelaki, pasti banyak yang tertarik sama penampilan mama. Tapi kalau mau ngumpul sama temen, mungkin ya biasa aja.”

“Tapi kan mama hanya pake blus dan jin,” kata Diana sambil melihat tubuhnya yang berbalut blus dan celana jin.

“Kalau pake jaket tambah cantik deh.”

“Dasar kamu. Eh, lagi liat apa tuh?”

Dana menggeser tubuhnya sehingga mamanya bisa melihat dirinya sendiri di monitor sedang masturbasi.

“Kok kamu gak bosen sih nonton gituan terus?”

“Bosan? Liat mama kayak gini? Tentu tidak.”

“Ntar malam kamu mau ngapain?” Diana berjalan dan duduk di kasur.

“Munkin maen sama temen mah, kan mama juga mau ngumpul sama temen mama. Makan mungkin, kan Dana gak bisa masak. ”

“Kayaknya kamu mesti nikah sama yang pintar masak dan suka beres – beres.” Diana diam saat menatap adegan kursinya penuh dengan baby oil di monitor. “Bahkan gak keberatan sering beres – beres.”

“Lho, itu kan ulah mama, bukan Dana.”

“Ya selama kamu mau bantu beres – beres, mama gak keberatan bikin ulah lagi.”

“Besok Dana gak ada acara mah.”

Diana tertawa mendengarnya.

“Ya udah. Selamat bersenang – senang mah,” kata Dana sambil menepuk pantat mamanya.


Beberapa saat kemudian, Dana sedang berada di jalan, di luar sebuat restoran. “Cari yang lain aja yuk!”

“Yang lain gimana? DI sini enak makanannya.”

“Lagian, pelayannya bening – bening di sini.”

Akhirnya mereka memutuskan duduk di sudut. Pelayan datang membawa menu. Ternyata yang melayani merupakan pelayan yang dulu melayani Dana dan mamanya.

“Tuan celana. Pacarnya mana?” kata pelayan kepada Dana.

Dana menatap pelayan itu, melotot sambil menggeleng.

“Eh, maaf. Saya kira teman saya.” Rupanya pelayan itu paham arti tatapan Dana. “Mau pesan apa?”

“Mau pesan no hp anda boleh?” kata Cipto bersemangat.

“Tidak boleh, maaf. Silakan dipilih, menunya ada di daftar, bukan di dada saya.” Kata pelayan sambil menatap Cipto. Setelah itu pelayan itu pergi.

“Pantes lu gak pernah punya pacar,” kata Dewo pada Cipto.

“Lu bikin masalah aja. Ntar gw ngomong dulu sama dia minta maaf.” Kata Dana sambil berdiri, lalu pergi.

Agak jauh dari mejanya, Dana mendapati pelayan itu dekat dapur.

“Makasih tadi udah bilang gitu.”

“Jadi, yang dulu binor ya? Bahaya…”

“Binor, apaan tuh?”

“Bini orang.”

“Oh, enggak dong. Dia janda.”

“Oh, kamu punya pacar, jadi kamu gak mau temenmu kasih tau ini ke pacarmu ya.”

“Gak juga. Saya masih lajang kok.”

“Trus, wanita yang kemarin?”

“Dia itu spesial. Hubungan kami memang rumit. Lagian dia gak mau mereka tahu.” Kata Dana sambil menunjuk ke mejanya.

“Jadi, biar gak ada kesalah pahaman diantara kita. Kamu punya hubungan dengan wanita cantik berumur, namun kamu gak mau temanmu tahu. Jujur saya akui saya terkesan. Biasanya cowok suka koar – koar omong kosong sama temennya. Tenang saja, saya gak akan buka mulut.

***

Cipto dan Dewo menatap Dana saat kembali.

“Gimana?”

“Gw udah minta maaf. Gw takut dia nambahi sesuatu ke makanan kita kalau gak minta maaf.”

***

Sementara itu, Diana sedang bersenang – senang di sebuah tempat hiburan malam bersama teman – temannya.

“Lu kok keliatan seneng sih, kayak Diana?” Tanya Yanti ke Dewi.

“Ya seneng dong. Kita kumpul lagi kayak dulu.”

“Hanya saja, sekarang kayaknya gakkan ada yang sampai teler,” kata Lisa.

***

“Lu ngerti gak maksudnya celana kata si pelayan?”

“Mungkin dia kira petinju.”

“Gak bakal ada yang percaya lu bisa tinju,” kata Cipto tertawa.

Dewo menunjuk pintu, menatap Dana, “Lu mau gw bawa dia keluar, biar kita tentuin siapa yang lebih jago kelahi?”

“Ntar, kalau dia ngomong aneh lagi ke cewek saat liburan ntar.”

“Bahkan, gw bisa bantuin pegangin dia nanti.”

“Gw masih gak percaya kita bakal liburan bareng. Apalagi sama mamanya Dana. Seksi bro.”

“Kayak mama lu pada jelek aja.”

“Serius, ruginya kita.” Dewo tertawa. “Lagian lu pikir, mamamu bakal bebasin kita gak?”

“Maksudlu?”

“Ya, misalnya cewek, minum. Kan lagi liburan.”

“Kayak bakal dikasih aja.”

“Gw gak tau gimana mama. Tapi kayaknya mama gakkan larang selama kita gak bikin kacau.”

Pelayan tadi mendekat dan memberi bill. Anak – anak itu mengumpulkan uang, lalu Dana pergi ke kasir. Dewo dan Cipto keluar. Setelah membayar, pelayan tadi sedang berdiri diam. Dana menghampiri. Dia melihat tag nama bertuliskan Sendi di dada pelayan itu.

“Makasih ya atas pelayanannya. Sendi ya.”

Sendi tersenyum. “Iya, sama – sama.” Sendi lalu menarik bon dari tangan Dana. Mengambil pulpen dari sakunya dan menuliskan sesuatu di bon itu.

“Jangan sampai temenmu dapat nomor ini. Kalau kapan – kapan bosen main sendirian, hubungi aja nomer ini.”

***

“Dah malem nih. Gw mesti pulang dulu.” Kata Dewi.

“Iya, setuju. Kalian sih enak gak punya laki.” Yanti menimpali.

“Ya udah, sekali lagi aja.” Kata Lisa lalu bangkit.

Rupanya Lisa memesan minuman lagi. Namun saat minuman siap, dia mengambil sesuatu dari tasnya dan memasukan ke minuman. Lisa kembali, memberikan minuman itu ke Dana. Dana langsung menelannya.

“Gw juga mau cabut ah.” Kata Diana.

Lisa panik. Lisa gak menyangkan Diana bakal langsung pulang. “Jangan dulu don Na, temenin gw dulu.”

“Lain kali aja.”

Yanti mulai membenahi pakaiannya, Dewi menatap Lisa yang kebingungan. Sedang Diana sudah mulai melangkah keluar.

“Sialan.”

“Lu kenapa sih?” tatap Dewi ke Lisa.

Lisa mengabil botol yang sudah setengah isi dari tasnya, lalu menyerahkan ke Dewi. “Gw udah kasih Diana ini. Biar dia bisa agak relaks. Eh malah pulang duluan.”

“Lu bener – bener sial ya. Sengaja lu bawa ginian? Pantes aja lu sendirian terus. Lu bener – bener butuh bantuan. Gw cabut dulu.”

Dewi ingat, Diana akan pulang. Dewi tahu kesepakatan mereka. Kini Dewi juga tahu Diana sedang dibawah pengaruh sesuatu. “Sial. Kacau.” Bisiknya.

***

Dana menutup telepon saat mendengar pintu dibuka.

“Gimana acaramu nak?” kata Diana berseri – seri.

“Dana dapet cewek mah. Barusan abis telepon – telponan.” Dana berhenti bicara saat melihat mamanya berjalan sempoyongan. “Mama kenapa nih? Mama mabuk ya?”

“Enggak. Mama cuma minum tiga sloki. Tapi mama merasa aneh, melayang bagaikan terbang ke awan.”

“Apa mama ditraktir minum pria?” Dana menghampiri mama dan memegangnya.

“Gak ada yang nyamperin mama. Mereka pecundang, gak kayak kamu. Mungkin mama cuma capek. Anter mama ke kamar sayang.”

Diana dibimbing anaknya ke kamar. “Makasih nak.”

Dana duduk di kasur mengamati mamanya. Diana menatap dan tersenyum. “Kamu cemas ya? Jangan khawatir, mama gak apa – apa kok.” Kata Diana sambil berputar.

“Mama bener – bener cantik.”

“Makasih sayang,” kata Diana sambil melepas pakaiannya. Kini bhnya pun dilepas. “Para wanita pasti seneng liat kamu.” Diana terus tersenyum hingga telanjang.

Diana menghampiri anaknya lalu mendorongnya hingga terlentang di kasur. Diana lalu menaiki tubuh anaknya. Lengan Dana bergetar menahan hasrat untuk menyentuh mamanya. Diana merasakan getaran tubuh anaknya.

Ibu dan anak itu tak mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.

Dana melingkarkan tangan untuk memeluk mamanya. Dapat Dana rasakn sisa – sisa al – qohol di bibir mamanya. Dana berguling sambil tetap mencium mamanya.

“Dana sangat mencintai mama. Tapi Dana gak bisa gini. Gak sekarang.”

“Gak apa – apa nak. Mama gak teler. Mama ingin ini.” Tangan Diana mengelus tubuh anaknya yang penuh peluh.

Dana melepas pelukan dan berguling hingga berbaring di samping mamanya. Tangan Dana memegang pundak mama, lalu turun hingga mengelus – elus susu mama. Dana mendekatkan mulut lalu mencium mamanya, “sebaiknya kita bicara mah.”

“Kenapa nak?” kata Diana sambil tetap mengelus – elus tubuh anaknya.

“Apa yang kita lakukan merupakan sebuat langkah besar mah. Sebaiknya kita nikmati dulu momen ini. Mama juga dulu gak langsung gini dengan papa kan?”

Tangan Diana berhenti mengelus, “Tentu tidak. Butuh waktu lama bagi kami.” Diana tersenyum. “Mama kasih tahu rahasia ini, sebenarnya papamu bersikeras agar mama menunggu hingga kami menikah.”

Dana melihat mama mulai menangi, “Mama bener – bener rindu papamu nak.”

Dana merangkul mama hingga kepala mama berada di bahunya. Air mata mama menghangatakn bahu Dana seiring dengan isak tangisnya. Dana hanya memeluk mamanya. Saat Dana menggerakan kepala, Dana melihat Dewi sedang berdiri di ambang pintu menatap mereka.

Dewi melihat mereka dengan keprihatinan yang mendalam. Namun Dewi memutuksan untuk tidak berkata “Saya prihatin.” Dewi hanya menggeleng sambil mengacungkan jempol ke arah Dana. Setelah itu Dewi tersenyum, mundur lalu menutup pintu kamar.

Sebelum Dewi keluar dari rumah itu, Dewi menulis catatan untuk Dana. Dia menjelaskan apa yang terjadi serta merasa bangga akan sikap Dana.

Dana diam di kasur hingga mama berhenti menangis dan tertidur. Setelah itu Dana bangkit dan keluar kamar. Namun, hingga Dana ke kamarnya sendiri, Dana tak menemukan catatan yang dibuat Dewi.

***

Dana terbangung esok paginya. Beberapa saat kemudian, mama datang sambil tersenyum. “Mama baik – baik saja?”

Diana mendekati Dana. Diana memakai daster pendek sambil memegang kertas. Tangan satunya membelai rambut anaknya. Diana menatap anaknya yang khawatir akan dirinya. “Mama gak apa – apa kok. Makasih kamu udah peduli sama mama.”

Diana memutuskan untuk duduk di kasur anaknya, “kamu baca catatan bu Dewi?”

“Catatan apa? Enggak tuh mah.”

“Sepertinya semalam mama dalam pengaruh sesuatu.”

“Sebaiknya kita segera ke dokter mah.”

“Gak perlu. Dewi udah nanya Lisa. Katanya tanpa efek samping. Tidak seperti efek rumah kaca.

“Kenapa bu Lisa ngelakuin itu mah?”

“Maksudnya biar mama relaks dan bersenang – senang. Mama jadi kecewa dibuatnya.”

“Maafin Dana mah.”

“Kamu hebat nak, gak perlu minta maaf. Kamu benar – benar dewasa, lebih dewasa daripada mama. Mama bangga padamu.”

Dana melihat daster mamanya. “Tau gak mah. Mama mending pake baju kok. Kita sebaiknya gak ngelakuini ini. Liat akibatnya ke mama. Apa yang hampir mama lakuin. Memang menyenangkan, tapi harus kita hentikan sebelum menembus batas.”

Diana berdiri dan tersenyum ke anaknya. “Mama senang dengan pikiranmu. Tapi mama pake baju bukan karena itu. Mama takut Dewi masih di sini.”

Diana melepas daster hingga telanjang, lalu naik ke kasur.

“Mah?”

Diana tertawa. “Liat ekspresimu. Mama serius kok, mama udah gak dibawah pengaruh lagi. Lagian ini hampir siang. Kamu aja yang suka malem bangun.”

“Iya deh. Tapi, mama ngapain sih?”

“Kamu benar – benar luar biasa, selain papamu. Kamu selametin mama dari kemungkinan rasa bersalah. Kini mama benar – benar bisa mempercayai kamu. Kita tak lagi butuh aturan dan kesepakatan. Apa pun yang terjadi, mama yakin kamu bisa mengatasinya. Apalagi yang kita lakukan ini penuh cinta dan kepercayaan.”

Diana menatap mata anaknya dalam – dalam. “Maka dari itu, gak usah lagi ada kesepakatan.” Setelah itu Diana menindih tubuh anaknya lalu menciumnya.

Dana balas mencium. Namun kira – kira satu menit kemudian, Dana menghentikan ciumannya. “Udah dulu mah. Mama jangan marah ya, tapi Dana rasa Dana belum siap untuk seks mah. Kayaknya terlalu cepet.”

Diana menatap anaknya sambil tersenyum, “udah mama duga kamu bakal ngomong gitu. Kamu bener – bener mirip papamu. Bukan berarti kamu mesti jadi penggantinya. Kamu harus jadi diri sendiri.

Diana merebahkan kepalanya di dada Dana sambil mengusap tubuh anaknya. “Banyak hal yang bisa kita lakukan nak.”

Dana meletakan kepala di bantal sambil menikmati sensasi berbaringnya mama ditubuhnya. Dana sangat menikmati elusan tangan mama.

Pelan saja, Diana berbisik, “mama suka elusan tanganmu semalam nak.”

Dana terkejut, tangannya langsung bergerilya mencari susu mama. Setelah dapat, dieluslah susu mamanya itu. Sambil mengelus, Dana menggerakan kepala hingga kembali mencium mamanya. Kali ini lidahnya disambut lidah mama. Sedang kontolnya dielus tangan mama.

Diana merasakan anaknya mulai bergetar, maka dia hentikan ciumannya. Diana lalu menatap anaknya, “ini caranya biar kita gak mesti beres – beres lagi.” Setelah itu Diana mengangkat kepalanya hingga mendekat ke selangkangan anaknya.

Diana langsung memasukan kontol ke mulutnya sambil mengelus peler anaknya. Saat itu juga Diana merasakan semburan peju di mulut yang langsung dia telan.

Setelah itu, Diana kembali berbaring di tubuh anaknya. Kepalanya di dada hingga bisa merasakan detak jantung anaknya. “Jadi, hari ini kamu mau ngapain?”

“Gak tau mah. Tapi Dana udah gak sabar nih.”

Dana memasuki dapur. Dana melihat mamanya sedang mencuci piring dengan telanjang. Dana merasakan tubuhnya seperti dijalari perasaan hangat. Sudah sering Dana melihat mama telanjang, tapi kali ini beda. Dana melihat mama dengan peraasaan yang lain. Dengan penuh cinta.
Dana kemudian berpikir tentang pelayan dan malam penuh percakapan telepon. Dana benar – benar ingin mengenal Sendi lebih jauh lagi. Tapi kenyataan ini tak menghilangkan perasaan cinta kepada mamanya. Dana memang cinta mama, tapi Sendi, Sendi merupakan hal lain.

Dana mulai membayangkan seandainya Sendi melalukan semua yang mama lakukan. Tapi pertama – tama Dana ingin kenal dahulu.

Dana kembali memperhatikan mama. Mama bahkan bersenandung. Dana sungguh beruntung pagi ini, bahkan mama tak minta apa – apa setelah itu. Tapi Dana merasa berutang nikmat, dan ingin membalasnya. Pelan – pelan Dana mendekati mama dari belakang, lalu langsung memegang susunya.

“Aw..” Diana terkejut hingga membuat piring yang dipegangnya terjatuh.

Tangan Dana mengelus susu mama. Jemarinya pun tak lupa memainkan pentilnya. “Mmm.. Geli nak…” Kata Diana sambil memutar kepalanya lalu mencium leher anaknya. Dana lalu mengangkat tangan untuk meraih dan mengelus rambut anaknya.

Lembutnya sentuhan anaknya membuat Diana tak tahan untuk menggigit kecil leher anaknya sambil mengerang. Diana mulai menggesekkan pantatnya yang menempel pada kontol anaknya. Akhirnya Diana melepas tangan anaknya lalu berbalik menghadapnya. Diana menatap mata anaknya.

“Oh… Sudah sangat lama mama menanti. Kamu udah bikin mama kayak gini.”

Dana menyeringai. “Duduk mah di meja.”

Diana lalu duduk di meja. Dana berada diantara dua kaki mama yang terjuntai. Dana meraih kepala mama lalu menciumnya sambil meremas rambut mama. Tangan Diana pun meremas rambut anaknya. Elusan tangan Dana bermain di susu mama, lalu beranjak turun ke perutnya. Diana mengerang di sela – sela ciumannya. Hembusan nafas mama makin terasa saat Dana mulai menyentuh jembut mama. Dana merasakan kaki mama bergetar saat ia angkat dan meletakkan di bahunya. Tangan Dana kini berada di tempat yang lembab dan hangat.

“Oh.. Oh…” Nafas mama mengenai bibir Dana. Ciumanya makin liar. Tubuh merespon kenikmatan yang ia terima. Tubuh Diana bergetar saat jari anaknya mencoba memasuki memeknya. Dana merasakan kaki dan tubuh mama bergerak seirama gerakan jari di memek mama. Dana menambah satu jari lagi, hingga kini dua jari sedang bermain di memek mama. Jari – jari itu kini ditekuk ke atas. Dana juga membuka dan menutup jari – jarinya bergantian mencoba melebarkan memek mama.

“Aaaahhhh,” teriakan Diana teredam oleh mulut anaknya. Diana mengangkat tubuh hingga membuat Dana jatuh. Keduanya lalu terduduk di lantai, Diana gemetar. Kepalanya kini disandarkan di bahu anaknya.

“Dimana kamu belajar itu nak?” Diana mencium bahu anaknya.

“Dari imaji nasi dong mah.”

“Cewek yang nanti kamu ajak tidur pasti gak kan biarin kamu lepas. Makasih nak.” Diana menoleh menatap anaknya.

“Mama berhak menerimanya kok.” Dana kembali menggerakan tangan membelai punggung mama. “Gimana rasanya mah setelah bertahun – tahun?”

“Kayak disurga. Mama gak mau pindah lagi.”

Dana memeluk mama erat, “Dana gakkan kemana – mana mah.”

Diana kembali menjilati leher anaknya, “Mama sangat mencintaimu.”

Ibu dan anak itu tetap pada posisi untuk waktu yang cukup lama. Setelah itu, keduanya tertawa, merasa canggung lalu berdiri.

Telepon tiba – tiba berbunyi. Diana menyadari mata anaknya menyipit, “Semalam kamu ngomong sesuatu tentang cewek ya?” Kata Diana sambil melihat anaknya yang berlari menuju telepon.

Dana lari lalu mengangkat telepon, “Iya bu, mama gak apa – apa kok. Mah, telepon dari bu Dewi.”

Diana menatap anaknya kecewa, “Jangan kabur dulu. Mama mau dengar ceritamu.” Lalu mengambil telepon dari anaknya. “Halo… Gw normal kok. Udah gak ngefek lagi… Gak, gw gak marah… cuma kecewa… Gw jadi males liat dia… Dana… Ya dia luar biasa… Apa, lu liat? Hehehe… Gw kasih tau, perjanjian gw sama anak gw udah tamat. Gw udah yakin ama anak gw, jadi gak perlu aturan lagi. Lagian tadi gw dibikin lemes ama dia. Apa? Gak, pake jari doang. Lu mesti liat wajah dia sekarang. Apa, lu juga mau? Ah gak percaya gw. Inget Wi, gw udah kasih tau lu. Lu juga mesti cerita abisnya. Si Dana mesti cerita, kayaknya ada cewek baru nih. Ya udah, met senang – senang aja. Yu…”

Diana menutup telepon sambil tersenyum ke arah Dana. “Ada kabar baru nih. Kamu mau yang mana dulu, kabar aladin atau kabar aladin?”

Dana mengernyitkan alisnya, “kabar aladin?” Dana lalu tertawa, “kabar aladin dulu deh.” Dana kembali mengernyitkan alisnya, seperti bingung. “Kabar aladin dulu.”

“Ternyata, bukan kamu saja yang aladin beruntung.”

“Mama ngomong apaan sih mah? Aladin siapa sih?”

“Ntar sore, Dewi sama lakinya, Jefri, bakalan ngajak si Dewo main kartu, kayak kita semalam.”

Dana tertawa, “Aladin,” katanya sambil mengacungkan jempolnya.

“Kayaknya virus kita mulai menyebar.” Diana mendekati anaknya lalu memeluknya. “Sekarang cerita atau mama paksa kamu.”

“Iya deh, Dana nyerah.” Kata Dana sambil mengajak mamanya duduk di sofa.

“Wo, sini Wo.”

Dewo sedang duduk di depan monitornya. Namun bukannya senang, Dewo malah merasa jenuh. Tak ada lagi yang dapat diperbuatnya selain bengong, gak ada kerjaan. Bingung apa yang harus dia lakukan. “Beri aku uang… Beri aku uang…” Pikirnya saat suara mamanya memanggil. “Daripada terbunuh sepi…” Pikirnya sambil melangkah.

Dewo mencari sumber suara itu. Ternyata mama sedang sama ayah di meja. “Apa mah?”

“Lagi sibuk gak ?”

“Emang kenapa mah? Gak sibuk sih.” Kata Dewo sambil duduk di kursi.

“Kamu bosan gak?” mama mengedipkan sebelah mata pada ayah.

“Iya.”

“Mau main gim gak?”

Dewo menatap ayahnya. Heran karena dia tertawa.

“Widia lagi pergi, mama juga bosan sama kayak ayah. Kamu mau ikut maen kartu gak? Yang kalah mesti buka pakaian?”

Dewo terkejut, “apa?” Dewo menatap ayah dan mama bolak – balik.

“Kamu kan udah besar,” ayah akhirnya angkat suara. “Ayah denger kamu dan temenmu suka bicarain mamamu dan mama temenmu. Nah, sekarang kamu punya kesempatan. Tapi, kalau gak mau ya gak apa – apa.”

“Pasti bercanda nih.” Dewo mulai senyum.

“Mama yakin kamu bakal telanjang duluan sebelum bisa liat mama,” kata Dewi sambil mengambil kartu. Lalu mulai mengocok.

“Jangan gitu. Meski ayah seneng liat anak kita dipermalukan, tapi ayah ingin liat mama telanjang lebih dulu.” Kata ayah sambil menepuk bahu Dewo.

“Silakan berharap. Ingat aja yang, mama bisa nelanjangin si Diana sama anaknya sebelum akhirnya mama telanjang.”

“Apa?” Dewo lemas hingga menggelosor ke lantai dari kursinya. Ayah tertawa melihatnya.

“Mama lagi ngobrolin kamu. Terus Diana malah nantangin main sama anaknya.”

“Bajingan itu malah gak kasih tahu Dewo.” Dewo memukul meja.

“Jangan marah sama dia. Dia gak salah, mamanya otak dari semua ini.”

“Kacau… Bener – bener kacau…”

Ayah kembali bicara, “Bukan kacau Wo, tapi menikmati hidup. Kayak ayah dan mamamu dulu, sebelum pada punya anak.”

“Gak usah terjebak masa lalu Yah. Pasti ntar Diana sama Dana juga kebagian lawan ayah.”

“Yakin?”

“Iya dong. Mama yakin kalian akan segera telanjang asal kamu bisa tutup mulut,” Dewi menatap Dewo. “Jadi cepat ambil kartu dan mainkan.”

Ketiganya lalu bemain hingga Dewo dan Jefri hanya tinggal bercd saja. Sedang Dewi hanya memakai cd dan bh.

Putaran berikutnya Dewi kalah. “Sial,” katanya sambil tangannya menjangkau punggung untuk melepas bh. Akhirnya susu Dewi terlihat oleh anaknya untuk kali pertama.

Dewo hanya bisa melongo melihatnya.

Dewi meraih pentil susu dan menariknya, “kamu ingat dulu gak?” katanya sambil menatap anaknya.

“Ayah gak inget terakhir anak kita gak bisa bicara gitu. Hehehe.”

Dewo geleng – geleng sambil meraih lalu mengocok kartu. Setelah pertarungan yang cukup sengit, Dewi kalah. Jefri tertawa senang. Dewi lalu berdiri, melepas cd, menggoyang – goyangkan pantatnya ke arah anaknya. Setelah itu kembali duduk.

“Ee… Sekarang apa?” bengong Dewo.

“Karena mulut mamamu gak ada gunanya lagi, gimana kalau mama kalah mesti nyepong dia yang menang. Setuju sayang?” jefri menatap Dewi.

Dewi menatap anaknya, “semoga aja Dewo menang,” lalu menatap suaminya, “karena kalau ayah menang, mama pake gigi mama.”

Dewo kembali terjatuh dari kursi akibat lemas. Ayah dan mama hanya tertawa.

Kartu kembali dibagikan. Namun yang menang adalah Jefri. Jefri lalu berdiri dan menatap anaknya, “perhatikan nak. Liat bagaimana ahlinya mamamu!” Jefri berharap soal gigi tadi hanyalah candaan.

Dewo melihat pantat mama bergoyang – goyang saat mulut mama sibuk di selangkangan ayah. Dewo mendekati mama biar bisa lebih jelas melihat.

Mama melepas kulumannya lalu menoleh ke anaknya, “pantat bergoyang artinya undangan. Kamu gak homo kan?”

“Tentu tidak.”

Jefri tersenyum pada anaknya, “lepas celanamu nak. Ayo lakukan.”

Dewo langsung melepas celana hingga telanjang lalu berlutut di belakang mama. Dewo memasukan kontol ke memek mamanya.

“Oh…” kata Dewi di sela sepongannya.

Dewo merasakan betapa nikmatnya memek mama hingga mulutnya mengerang dengan sendirinya. Pompaan kontol Dewo semakin lama semakin cepat. Tangan ayah memegang kepala mama saat ayah orgasme di mulut mama. Aku pun orgasme dibarengi mama yang bergetar. Rupanya mama ikut orgasme.

Dewo mencabut kontol lalu duduk dikursi sambil memperhatikan lepasnya kontol dari mulut mama. Mama lalu menatap ayah, “gimana, senikmat imajinasimu?”

“Iya sayang.”

Dewi duduk lalu menatap anaknya. “Setelah mama main sama Diana dan Dana, mama langsung pulang dan bergumul sama ayahmu. Abis itu mama ceritain semua. Terus ayahmu malah punya ide ini.”

Jefri menatap anaknya, “jadi, kira – kira setelah ini kamu bakal sering bosan gak?”

“Tidak komandan!” jawaban Dewo membuat ayah dan mama tertawa.

***

“Maksudmu, gadis yang dulu nganter makanan ke rumah kita trus ngelayanin kita di restoran?”

“Iya.”

“Gila, terus gimana caranya kamu mau nerangin kalau saat itu kamu sama mama?”

“Entahlah. Biar waktu yang menjawabnya.” Mata Dana menerawang sambil mengelus meja

“Gimana kalau mama kembali berpakaian aja dan kita kembali normal seperti dulu?” Perut Diana bereaksi melihat anaknya yang jelas sedang jatuh cinta.

“Tentu tidak.”

Diana tertawa, “Terserah kamu. Kita tunggu saja, jika hubungan ini makin serius, maka kamu mesti memikirkan cara untuk memberitahukannya. Gak boleh ada rahasia jika mau berhubungan, bisa ricuh.”

“Dana tahu. Ntar Dana pikirkan suatu cara.”

Diana bangkit lalu mendekati anaknya. Diana duduk di pangkuan anaknya lalu menciumnya. Beberapa saat kemudian Diana melepas ciuman lalu menatap anaknya. “Mama sangat cinta sama kamu. Tapi suatu saat jika kamu sudah menemukan belahan jiwamu, mama akan merelakanmu. Gak perlu kamu khawatirkan perasaan mama.”

Tangan Dana mengelus bahu mama, sedangkan tangan lainnya memainkan jemari di susu mama. Mata Mama mulai terpejam. Erangan kecil mulai keluar dari mulut mama.

“Dana sangat bersyukur punya mama seperti mama.” Dana lalu mencium leher mama.

Diana menjerit saat Dana merangkulnya lalu mengangkatnya hingga ke atas meja. Dana lalu melebarkan kaki mama, “kamu mau lagi ya?” kata mama.

“Tentu.”

Kring… Kring…

“Biarkan saja mah.”

“Kalau dari sendi gimana?”
“Oh iya,” Dana bergegas meraih telepon.

“Halo, Cip,” mata Dana menatap betis mama. Meski betis mama tak bercahaya seperti ibu para raja zaman dahulu, namun sungguh terlihat seksi. “Gak, gw udah siapin semua. Tinggal lu aja sama Dewo. Telpon aja sama lu. Gw kira cewek. Ya cewek asli lah. Gak, gw gak bakalan cerita sekarang. Yo.”

Tubuh mama masih tergeletak di meja, menatap jalang pada anaknya. Dana menghampiri dengan antusias. Tangan Dana mulai mendekati kaki mama…

Kring… Kring…

“Sial… Sial…” Dana kembali meraih telepon.

“Halo. Oh, kamu Sen. Iya, aku juga seneng semalem ngobrol sama kamu. Apa? Iya sip. Jadi besok, jam tiga. Sampai jumpa.”

“Wah.. wah… Ada yang janjian nih?” tawa Diana menggoda anaknya saat anaknya mendekat.

Dana tersenyum, “hehe…”

Masih berbaring di meja, Diana melorotkan celana pendek anaknya, “berarti kamu milik mama malam ini.” Diana menjulurkan lidah perlahan untuk mengenai kontol anaknya.

Kring… Kring…

Diana melepas kontol dari tangan dan menjatuhkan kepalanya saat Dana memukul meja. “Hehehe…” Diana cengengesan.

“Apa lagi? Eh, halo bu Dewi. Tidak, sedang santai kok. Mau ngomong sama mama? Kata mama ibu lagi main kartu? Sudah? Siapa yang menang? Maksudnya, semua? Mantap. Tentu, ada rencana sih. Ya seperti itu. Ibu kan temen mama, rasanya obrolan ini agak janggal. Ibu yakin? Tentu Dana percaya. Siap bu. Iya.”

Dana kembali menghampiri mama. Tangan mama disilangkan di meja, dan dagu mama bersandar di tangan itu. “Katanya bu Dewi sekeluarga mau ke sini ntar malem.”

Diana langsung duduk, kakinya menjulur dari meja. “Mau ngajak keluar?”

“Enggak, katanya mau makan di sini.”

“Apa kamu yakin gak keberatan kita kedatangan tamu?”

“Gak, bu Dewi kedengeran semangat. Katanya bakal tak terlupakan bagi kita.”

“Bisa jadi malam yang sangat menarik. Kamu siap?”

“Mungkin saja, kita lihat nanti.”

***

Saat yang dinanti para pembaca pun tiba, pintu diketuk. Dana membuka pintu. Munculah bu Dewi dan suaminya, paman Jefri. Dana menyalami mereka. Diana lalu datang. Jefri memandang Diana yang memakai kaos penuh keringat.

“Ku akui, aku mesti berterimakasih atas bantuanmu,” senyum Jefri saat menyalami Diana.

“Pantesan kamu senyum terus…” balas Diana.

“Jadi, tumben – tumbenan nih maen ke sini…”

“Iya, gw inget lu tanya apa gw pingin balik lagi kayak dulu. Nah gw omongin dah ke laki gw. Kalau lu oke, setidaknya gw dan laki mau ngucapin makasih udah nyalain lagi api yang pernah pudar.”

Diana menatap anaknya, “Dana baru dalah hal ini. Jadi kalau lu setuju, kita pelan – pelan saja. Gw juga gak mau sampai main kecuali sama anak gw. Gw baru sadar, rasanya gw sengaja nunggu. Duh.”

Ketiga orang paruh baya tertawa, sementara Dana celingukan sendiri bingung.

“Dari dulu juga gw tau lu orangnya punya komitmen. Gimana anak lu, apa dia udah punya inceran buat masa depannya? Kalau anak gw sih, tadi sore gak kesulitan.” Dewi tertawa menatap Dana yang makin merah karena malu.

Jefri tertawa, “Jangan biarkan mereka melahapmu nak. Udah tugas wanita buat bikin kita senang – senang, setidaknya salah satu wanita ini udah melakukannya. Si Dewo mulai beruntung sama mamanya, Paman jadi khawatir.”

“Dewo sih gak pernah susah kalau soal cewek, tapi jangan bilang kalau saya kasih tahu,” kata Dana terlihat kikuk.

“Jadi, mau di mana nih?”

“Di dapur aja, sambil duduk. Kita ngobrol normal – normal dulu. Pelan – pelan untuk remaja kita.” Dewi sambil menggandeng bahu Dana.

“Mana makanannya, katanya lu mau bawa?” Diana meyiapkan piring ke meja.

“Udah gw pesen.” Tok.. Tok… “Nah, itu datang pesenannya.” Jefri menarik uang dari dompet sambil berjalan menuju pintu

“Tunggu, pesan dari mana paman?” Dana meraih tangan Jefri hingga

“Tempat rekomendasi Dewo, kenapa emang?” Jefri menatap Dana heran.

“Oh, pacarnya kerja di sana. Suka nganterin juga,” Diana menimpali sambil tersenyum.

Jefri menyerahkan uang ke Dana, “kalau gitu, kamu ambil saja.”

Saat pintu dibuka, Dana dan Sindi sama – sama tersenyum.

“Hay, aku ingat alamat ini, jadi sengaja aku antar.”

“Ya, setidaknya kali ini aku sengaja berpakaian kumplit.”

Sindi tertawa. Dana melirik ke samping melihat mamanya pun tertawa.

“Bener – bener gak ada privasi di sini ya?”

Diana mengangkat tangannya, “cuma ngecek, kali aja butuh bantuan bawain makanan.”

“Ya… ya… percaya deh…”

Sindi memandang ke dalam, “bilang padanya agar jaga tangannya di tempat yang terlihat,” tawa Sindi.

Diana lalu muncul di pintu, antara Dana dan Sindi. “Halo, kamu pasti Sindi ya.”

“Ya, kalau anda?”

“Diana, tenang saja cantik. Saya bukan sainganmu dalam remaja ini.”

“Udahlah Na, mending sana deh.”

Bukannya menghilang, Diana malah membuka pintu lalu meraih makanan dari Sindi. “Tante tau tante gak diharap ada di sini. Tapi jangan ngambek kalau nanti kamu kembali makanan udah gak bersisa.” Diana lalu masuk sambil tertawa.

Dana memperhatikan mama hingga berada di dapur, lalu kembali ke Sindi.

“Dia makan sebanyak itu, tapi masih kelihatan cantik?”tatap Sindi ke Dana.

“Oh, tentu tidak. Di dalam ada teman kami.”

“Kami? Aku tak sabar dengar ceritanya. Dia tampak menawan.”

“Ya, dia hanya senang saat tahu aku lagi dekat sama wanita. Tapi dia juga enak orangnya. Eh, ntar mau nonton apa?”

“Gak tahu, kita liat aja nanti apa yang sedang diputar. Terus kita putuskan bareng, biar sama – sama menikmati.”

“Bagus. Oh iya, nih uangnya. Mumpung ingat.” Dana mengeluarkan uang lalu memberinya ke Sindi.

“Makasih. Aku mesti kembali, biar tetap kerja. Hehehe…”

Tanpa berpikir, Dana mendekati Sindi lalu mencium pipinya. Setelah itu Dana melihat Sindi berbalik dan menjauh, langkah Sindi seperti langkah mama saat mama senang. Saat akan masuk, Dana melihat sesuatu di jendela.

“Tukang intip di mana – mana.” Teriak Dana, Dewi dan Diana hanya tertawa.

“Paman udah bilang ke mereka jangan ngintip,” kata Jefri dari dapur.

“Iya, makasih udah ngelarang mereka paman.”

“Jangan marah dong, lagian siapa yang tahan liat anak lucu…” kata Dewi sambil memeluk Dana.

“Makanan udah mulai dingin nih,” teriak Jefri sambil mengunyah.

Ketiganya lalu menuju dapur. Makanan sudah tersaji di meja. Ada satu botol kosong dan satu botol penuh.

“Lu minum sendirian?” tanya Diana ke Jefri yang sudah agak mabuk.

“Kan mau ngajarin anak ini. Pelan – pelan saja kan.”

Diana tertawa, “putar botol?”

Dewi tersenyum pada Diana, “pelan – pelan saja.” Lalu menatap Dana, “Gimana nak, tertarik?”

“Boleh bu, tapi jangan harap Dana mau menyetuh paman Jefri, najis tralala…”

“Tenang, ini versi pasangan. Makanya kami gak bawa Dewo.”

“Entahlah… Dana masih merasa gak enak sama Dewo.”

“Gak usah khawatir, sore tadi Dewo udah bahagia. Apalagi esok lusa. Siapa tahu kapan – kapan kita main gim ibu dan anak bareng.”

Dana menggeleng, “Kacau… bener – bener kacau…”

“Ngeluh? Kayak yang iya aja,” Diana tertawa.

Keempat insan itu makan, minum dan tertawa. Setelah makan selesai, meja dikosongkan hingga hanya terdapat satu botol. Dewi memutar dan botol itu berhenti tepat menunjuk Dana.

“Cium sang gadis,” teriak Dewi.

Diana tersenyum lalu mencium anaknya.

Jefri menyeringai, “setelah bertaun – tahun, lu gak lupa caranya kan?”

Setelah beberapa saat, Diana dan Dana kembali duduk di kursi masing – masing. Dana memutar botol. Botol menunjuk ke mama temannya.

“Gantian,” tawa Diana.

Jefri dan Dewi berciuman. Terkadang lidahnya menjulur keluar.

“Babak pertama usai. Selanjutnya yang kalah mesti lepas pakaian. Jika kembali kalah, maka lanjut ke tes jujur.” Cukup bicara, Dewi lantas memutar botol. Ironisnya botol itu mengenai dirinya sendiri.

“Sial, gw mesti pertama telanjang lagi .” Dewi lalu melepas kaosnya. Tangan Dewi meraih ke punggung lalu melepas bh. Setelah itu Dewi berdiri dan melepas celana jins, akhirnya Dewi melepas cdnya. Dana dengan antusias melihatnya.

Botol kembali diputar, berhenti menunjuk Diana. Diana berdiri lalu melepas bajunya. Kedua pria bertepuk tangan.

Jefri tertawa, “masih seperti dulu, liar dan cantik.”

Berikutnya Dana yang harus melepas pakaian.

“Sejauh ini masih aja pemalu?” jefri geleng – geleng melihat Dana yang terlihat malu. Para wanita hanya cekikikan.

Akhirnya giliran Jefri yang melepas pakaian. “Kali ini yang tertunjuk mesti ngocok atau ngelus pasangan dengan tangannya. Katanya kamu pintar Dan.” Dewi merujuk kepada Dana sambil memutar botol. Botol menunjuk Dana.

Diana berdiri dan jalan mendekati meja lain, “kita ulangi saja yang tadi.” Diana lalu duduk di meja dan melebarkan kaki, sementara Dana kini berdiri diantara kaki Diana.

Diana lalu membungkuk untuk mencium anaknya. Tangan anaknya mengelus susu Diana, serta punggungnya.

Dewi menggeser kursi hingga di sebelah suaminya. Tangan Dewi lalu mengelus kontol suami, sementara tangan Jefri memainkan pentil istrinya.

Perlahan tangan Dana menuruni tulang rusuk hingga berputar di perut mama. Sementara tangan satunya membelai pantat mama.

Dewi bisa mendengar erangan Diana, “Enak nak.”

Diana mengejang kembali saat jemari anaknya mengelus memek sambil tetap berciuman. Diana lantas membuka mata melihat Dewi sedang memainkan kontol suaminya, “Woy, sabar dong tunggu giliran.”

“Gak usah didengar, terus sayang hhh,” rintih Jefri. Dewi memajukan kepala untuk mencium suaminya.

Diana merebahkan kepala di bahu anaknya sambil menonton temannya. Kini Diana memeluk erat anaknya sambil gemetaran dan menggigit bahu anaknya saat Diana akhirnya keluar.

Perlahan Diana turun dari meja dan kembali mencium anaknya. Kini semua orang kembali duduk. Karena terkena guncangan oleh salah – satu tubuh, botol menggelinding. Sebelum jatuh, Diana menangkap botol.

“Rehat dulu, gw mau ke kamar mandi. Ntar gw ada ide buat ronde akhir.”

Semuanya kembali ke meja. Diana berdiri lalu menunjuk Jefri, “lu hutang muasin bini lu, tapi sebelumnya gw mau lanjutin apa yang tadi dipotong sama telepon.”

Diana lalu naik meja dan berbaring. Tangannya lalu meraih kontol anaknya dan menariknya hingga masuk ke mulutnya. Kontan saja Dana terkejut atas aksi mama. Tangan Dana memegang pinggir meja. Sementara matanya melihat kepala mama yang maju mundur. Tangan mama sepertinya memegang dan mengelus pantat Dana.

Dewi bangkit, mendekati Diana lalu membungkuk untuk melihat temannya sedang nyepong anaknya sendiri. Jefri bangkit dan berlutut di belakang istrinya. Tangan jefri lalu mulai mengelus pantat istrinya.

Dewi mengerang saat lidah suaminya mulai bergerilya. Erangan Dewi menyebabkan Diana berhenti, mencabut kontol anaknya lalu mencium Dewi. Kontol yang masih dalam pegangan Diana diarahkan ke mulut Dewi. Dewi menghirup kontol teman anaknya, lalu menoleh ke belakang, “masukin ke anus yang.” Setelah itu, Dewi memasukan kontol teman anaknya ke mulutnya.
Jefri berdiri, melebarkan pantat istrinya lalu mulai menusuk kontol ke pantatnya. Dewi melepas kontol dari mulut, bangkit berdiri lalu mencium mulut teman anaknya sendiri. Sementara kontol Dana kembali bersarang di mulut mamanya.

Dana mengerang di sela ciumannya saat kontolnya menyemburkan peju di mulut mama. Dewi meracau tak jelas saat keluar. Jefri makin cepat memompa hingga menyemburkan peju di anus istrinya.

Mereka lalu berbaring di lantai. Diana kembali mencium Dana, Jefri mencium punggung Diana. Dana lalu melepas ciuman dan memandang ketiga orang itu, “Dana jadi penasaran, pelan – pelan saja sudah gini. Gimana kalau yang ekstrim?”

Ketiganya tertawa mendengar pertanyaan remaja itu.

Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Aku, Ibu dan BibiKu

Namaku Riko, usiaku saat ini 16 tahun, baru saja naik kelas 2 SMU. Aku adalah anak semata wayg orangtuaku. Ayahku, Gito, 40 tahun, seorang pegawai swasta, dengan posisi sudah mapan, ibuku, Santi, 36 tahun, juga bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta. Secara ekonomi keluarga boleh dibilang mapan menengah ke atas. Kami sekeluarga tinggal di kota Jakarta. Ayahku sendiri berasal dari kota Semarang, sementara ibuku berasal dari sebuah desa di dekat kota Tasikmalaya. Kalau aku, ya karena lahir dan besar di kota Jakarta, lebih merasa sebagai orang Jakarta saja tuh.

Ayah Mertua, Suami BaruKu.

Namaku Fara, usiaku baru saja menginjak 26 tahun. Aku telah menikah dengan mas Budi (nama suamiku) selama lebih dari 5 tahun. Pernikahan kami dapat terbilang langgeng, tentram tanpa adanya gangguan ataupun masalah yang berarti. Begitupun dengan hubungan birahi kami, semua berjalan lancar seperti pasangan-pasangan lainnya. Bertahun-tahun aku dan suamiku memiliki kehidupan seks yang bagus, dan dia benar-benar bisa memuaskan nafsu birahiku. Berbagai macam literature kami baca dan pelajari guna mendapatkan ide serta masukan baru guna mempererat tali birahi kami. Mulai dari koran, majalah, novel stensilan, hingga internet, mengisi keseharian kami berdua.

Kampung Di Tepi Hutan Jati

Pagi yang indah,Dargo menikmati kopinya dengan duduk di teras depan rumahnya,sesekali melambai dan menyahuti sapaan orang orang yang melintas di depan rumahnya,jalan desa kecil yang hanya ramai bila pagi dan sore hari ketika warga kampung berangkat dan pulang dari sawah,maklumlah desa itu hanyalah desa kecil di tepi hutan jati. Dargo sendiri hanyalah anak desa biasa,bapaknya Suhadi,45 tahun,seorang petani yang beruntung memiliki sawah yang lumayan luas.Ibunya Haryani,biasa dipanggil Yani, 35 tahun, hanya seorang ibu rumah tangga biasa.Nanta sendiri sekarang kelas 2 di smu negeri satu satunya yang ada di kecamatan.