Setengah jam kemudian Dana hampir selesai menyiapkan tempat. Di sisi sofa telah dipasangi lampu yang mirip di studio foto hingga membuat pencahayaan pada sofa sangat terang. Sedang hampir satu meter di depan sofa terdapat tripod yang dipasangi handycam. Saat mengecek handycam, Dana mendengar langkah mamanya datang.
“Cantiknya!”
Rambut Diana masih basah. Wajahnya memakai make-up yang bahkan belum pernah terlihat secantik ini oleh Dana. Tubuhnya berkilau dan mengeluarkan aroma baby oil. Tangan kanan Diana memegang dildo. Tak lupa kakinya memakai highheel.
Diana melihat ruangan yang telah disiapkan anaknya dengan takjub, “Kamu siapkan ini sendiri?”
Untuk kali pertama Diana melihat betapa anaknya sangat terpesona hingga tak bisa berkata – kata. Diana berjalan sambil mengelus dadanya, lalu elusannya turun ke pantat hingga pantat itu duduk menyentuh sofa hitam.
Pantat Diana yang berminyak kini duduk di sofa. Satu kaki dibuka lebar hingga tumitnya mengenai sisi sofa. Sedangkan kaki satunya dipanjangkan ke bawah.
Nafas Dana tercekat melihat memek mamanya yang telah bersih tiada rambut sehelai pun. Jelas terlihat lipatan memeknya. Apalagi dengan olesan baby oil membuatnya memantulkan cahaya.
Melihat anaknya terpesona, Diana mengambil dildo dan memposisikan di vaginanya, namun tanpa melakukan penetrasi.
“Jangan salahkan mama kalau kamu sampai lupa ngerekamnya. Serangan di Pantat Tua Mama jilid Dua.”
Begitu Diana selesai berbicara maka dildo itu langsung berusaha memasuki pantat Diana. Beberapa bagian sofa kini telah dipenuhi minyak yang menetes dari tubuh Diana.
Dana langsung memainkan kameranya sambil terus membasahi bibir dengan lidahnya. Tangannya begitu sibuk memainkan tombol yang ada di handycam.
Diana mencoba tersenyum di sela – sela erangan yang terus keluar dari mulutnya.
“Kamu tuh jangan cepat – cepat matiin kameranya terus pergi. Siapa tahu kali ini bisa ngerekam saat mama bersihin dildo pake mulut mama seperti yang terakhir.”
Mulut Dana ternganga mendapati adegan yang dilewatinya.
Diana perlahan menarik dildo dari pantat lalu mendekatkan ke wajahnya.
“Kayak gini nih.”
Diana lalu memasukan dildo ke mulut dan memainkannya. Tak lupa juga menjilatinya.
Dana merasa penisnya makin keras dan cairan pelumasnya pun keluar membasahi celananya.
“Aduh,” kata dana sambil mengelus celananya.
Diana melepas dildo di mulutnya lalu tertawa. Dildo itu kembali ditempatkan di pantatnya. Diana terus memainkan dildo sambil berbicara.
“Dasar anak muda.”
Setelah beberapa menit, Diana mengangkat lututnya hingga mendekati dada membuat pantatnya makin terlihat jelas. Kini kedua tangan Diana sibuk memainkan dildo di anusnya.
“Unh, unh, unh, unh AHHHHHHH.”
Diana menjerit sambil berusaha memasukan dildo sampai mentok. Kakinya bergoyang, tubuhnya kejang hingga beberapa detik kemudian tubuh Diana pun berhenti gemetaran. Kakinya terjatung lunglai ke bawah.
Setelah beberapa detik, Diana mencabut dildo dari pantat lalu mendekatkannya ke wajah. Dildo itu dijilati Diana lalu dimasukan ke mulutnya. Beberapa saat kemudian Diana asik memainkan dildo di mulut hingga merasa cukup.
“Jadi berantakan gini yah.”
“Iya, mama sih nakal.”
Diana tertawa, “yang penting tugasmu tuh ntar bersihin ini.”
Diana melihat keadaanya lalu bangkit berjalan mendekati anaknya.
“Nah, anak aneh, perjanjian pertama kita telah mama laksanakan.”
Dana langsung mengangguk.
“Sayang sekali. Padahal mama udah siap ronde berikutnya. Nih deh mama kasih sedikit inspirasi buat kamu.”
Diana lalu memeluk anaknya membuat pakaian anaknya kini basah oleh baby oil. Paha Diana juga diangkat untuk membasahi sekitar pinggang dan celananya.
“Kayaknya bajumu perlu dicuci tuh.”
Dana mengerang. Diana menepukkan tangannya.
“Baiklah pejantan muda. Mama beri kamu sepuluh menit untuk siap – siap menghibur mama.”
Dana pun melangkah menjauh menuju kamarnya. Namun saat baru setengah jalan, terdengar suara mamanya.
“Mama taruh baby oil di lemarimu nak.”
Diana menyeringai. Pasti malam ini bakalan seru, pikirnya.
Dana duduk di kasur dengan hanya memakai celana pendek sambil gemetaran. Dana memang jadi terbiasa melihat mamanya telanjang, namun Dana merasa tak nyaman jika harus ikutan telanjang juga. Dana menyadari memang tak adil jika dirinya tetap berpakaian, namun toh bukan salahnya. Dana tak pernah melihat mamanya seliar ini, senakal ini. Terus terang saja kini Dana merasa takut. Dana menduga dia telah mendorong sisi gelap mamanya keluar dan mulai merubah mamanya.
Dana merasa hubungannya dengan mama tak pernah sedekat ini. Dana memang mencintai mamanya, sebagai anak, juga menghirmatinya. Dana sungguh merasa beruntung dengan perjanjian ini, tapi kebenaran yang disampaikan sendiri oleh mama merupakan hadiah tersendiri. Telah terlalu jauh sejak kali pertama Dana melihat mamanya telanjang di dapur.
Dana tersenyum sendiri saat berdiri lalu melepas pakaian terakhirnya, celana pendek. Setelah itu Dana meraih baby oil yang ada di lemarinya.
Diana duduk di sofa menunggu. Keheningan yang ia rasakan sedari tadi membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa anaknya mungkin merasa takut dan atau tidak berani. Satu kosong untuk mama, pikirnya. Tiba – tiba terdengar dentuman suara musik yang kemungkinan berasal dari kamar anaknya. Cahaya tiba – tiba menghilang menjadikan kegelapan yang muncul menyelimuti. Diana menyeringai. Ya tuhan, dia benar – benar akan melakukannya, batin Diana.
Tiba – tiba ada sinar. Setelah ditelisik oleh mata Diana, sinar itu mengarah ke kepala kontol. Ternyata anaknya memegang dua senter yang kini diarahkan ke kontolnya sambil berjalan mendekat. Dana pun sampai di depan sofa yang diduduki mamanya lalu menggoyangkan pinggulnya. Puas bergoyang, tangan kanannya melempar senter lalu memegang kontolnya.
“Mah, kok Dana jadi gini sih?”
“Jangan berhenti nak. Lagian gak apa – apa kok jadi gini juga.”
“Ini dia mah. Siap membuat mama terangsang.”
"Whoo hoo, goyang nak!” Diana tertawa.
Dana memaju mundurkan pinggul sambil tangannya mengocok kontol. Mata Diana berbinar melihat anaknya mengocok kontolnya sendiri. Tak butuh waktu lama Dana pun mengejang seiring dengan menyemburnya sperma yang mendarat di kaki Diana, sofa dan di lantai. Setelah orgasme tubuh Dana berhenti mengejang namun saat akan bergerak kakinya tersandung membuat Dana jatuh terduduk di sofa di sebelah mamanya. Kakinya menyentuh kaki mamanya. Keringat bercucuran di dahi Dana. Nafas Dana terengah – engah.
Diana bertepuk "Hebat, luar dari pada biasa!"
Dana melambaikan tangannya, “santai mah.”
Diana dan Dana saling memangang, lalu keduanya menyeringai.
“Mah, maafin Dana yah udah ngedorong mama terlalu jauh hingga jadi gini. Dana bener – bener menyesal mah.”
“Ya, kamu memang nakal. Tapi mama seneng kamu berani mengakuinya. Lagian mama juga tak terlalu suka per – anal – an.”
“Ya gak apa – apa kok mah asal perjanjian kita yang lain tetap berjalan Dana gak keberatan kok.”
“Mama gak keberatan dengan hal baru, asal tak menyakitkan bagi kita.”
Diana melingkarkan tangan ke bahu anaknya lalu memeluknya dari samping membuat tubuh ibu dan anak itu menempel ketat.
“Sial mah, Dana menyentuh mama.” Dana terlihat panik.
“Ini sih sikap ibu dan anak yang saling mencintai, meski tanpa pakaian.”
Mereka pun menatap tubuh mereka yang penuh baby oil.
“Kok jembut mama dibabat habis sih?”
“Mama hanya ingin memberikan yang terbaik bagi kamu. Lagian kamu tuh bener – bener maksa mama sih.”
Diana dan Dana menatap selangkangan Diana. Seperti berjanji, keduanya sama – sama berbicara “kayaknya jelek deh.” Menyadari kesamaan kata yang terucap, keduanya saling pandang lalu tertawa.
“Untungnya ntar tumbuh lagi. Sekarang kamu tahu kan mama juga bisa mencoba hal – hal baru. Kalau kamu gimana? Mau mulai telanjang di rumah gak?”
“Gak tahu mah. Kayaknya aneh deh.”
Diana memegang payudara lalu mengangkat susunya.
“Mama tak bisa mengatakan bagaimana rasanya hidup dengan selalu menunjukan ini padamu. Mama juga senang kalau kamu gak mau ikut – ikutan. Tapi mama tak akan keberatan kok kalau kamu berubah pikiran.”
Diana dan Dana menatap kontol Dana. Mereka berdua melihat betapa kontol itu kini mulai kembali mengembang.
Begitu muda begitu jantan, pikir Diana.
Diana lalu mendorong anaknya bangkit.
“Kamu bersih – bersihnya ntar mama bantu deh.”
“Setuju,” seringai Dana.
Suasana di foodcourt sebuah pusat perbelanjaan terbilang ramai. Meskipun tidak ber-suasanaseger, namun banyaknya abg yang berlalu – lalang membuat mata serasa segar bagi yang memandangnya.
“Woi, Diana, sini!”
Diana melangkah diantara deretan meja mencoba mencari sumber bunyi tersebut. Di arah kiri depannya ada sebuah meja yang ditempati tiga orang perempuan yang tidak berkalung sorban, usianya kira – kira setengah baya. Salah – seorang dari ketiga wanita itu melambaikan tangannya ke arah Diana. Diana pun bergegas mendekati meja lalu duduk di kursi yang telah disediakan.
“Gimana kabarnya?”
“Iya nih sombong bener.”
“Kok lu keliatan seger sih?”
Tiga suara yang keluar dari tiga mulut yang berbeda langsung menyambut begitu Diana duduk. Diana pun tersenyum sebelum menjawabnya.
“Lah kayak gak tau aja lu lu pada juga kan sibuk – sibuk.” Diana mengambil gehu yang ada di meja lalu makan sambil meneruskan pembicaraan. “Gila lu ya, di tempat kayak gini malah beli gehu.”
“Kan dari tadi kita mau pesen juga nungguin lu dulu. Dari pada bengong yang pesen gehu dulu. Lagian lu juga doyan kan.”
“Kok lu keliatan beda sih?”
“Iya, gw mau ajak anak liburan entar. Biar gak jenuh.”
“Kok badanlu agak beda sih.”
“Iya dong. Gw sering diajakin maen wii sama anak sih.”
“Apaan tuh wii?”
“Itu gim yang pake remot, terus kita maininnya sambil gerak – gerak.”
“O ya. Anak lu kan tukang maen gim.”
“Terus, lu keliatan lebih semangat, gak kayak dulu murung terus sih?”
“Iya dong. Gw kan kini jadi lebih deket sama anak. Apalagi kini tuh anak mau nerusin kuliah.”
Ketiga teman Diana saling pandang mendengar penjelasannya.
“Lah, kayak kita bloon aja.”
“Eh, sumpah deh, gw lagi gak deket sama siapa – siapa.”
“Lu liburan gak mau ngajak kita nih?”
“Enggaklah. Kan sama anak gw. Sebelum lu pade nanya, gw gak seranjang ntar sama anak.”
“Iya lah. Siapa tahu ntar ada laki biar lu bisa bebas.”
“Gak gitu juga kali.”
“Lu beli apaan tuh?”
“Biasa, buat ntar di pantai.”
“Pake aja trus tunjukin ke anaklu biar dia seneng.”
“Apaan sih? Yang ada juga dia malah lari ketakutan,” kata Diana sambil mengambil belanjaannya lalu bangkit.
“Eh, lu mau ikut gak ntar malam sabtu. Biasa kumpul di tempatnya Dewi.”
“Iya. Ntar gw cek dulu kalau anak gw gak keberatan sih,” kata Diana sambil melangkah pergi menjauh.
Diana merenung di rumahnya sambil memikirkan ide yang didapat dari percakapan dengan temannya tadi. Diana jadi ingin mencoba menjadi model pakaian di depan anaknya sendiri. Saat sedang asik merenung, tiba – tiba terdengar suara seperti pintu yang diketuk. Diana pun meraih daster, memakainya lalu membuka pintu.
“Eh, elu Wi, masuk.”
Diana mundur agar temannya, Dewi, bisa masuk. Dewi masuk, melihat Diana yang hanya memakai daster lalu mengelus tangannya.
“Lu pake ginian doang?”
“Iya, kan nyobain yang baru.”
“Gimana kalau anaklu ngeliat?”
“Kan ntar juga pasti ngeliat kalau jadi liburan.”
“Bagus.”
“Mau minum apa? Bikin aja sendiri.”
Diana dan Dewi pun melangkah menuju dapur. Dewi memilih membuat kopi. Dapur pun langsung dipenuhi aroma biji kopi pilihan.
“Gimana Dana di tempatlu?”
“Biasa aja. Maen sama anak gue.”
“Gw udah lama kenal lu sama david. Tapi gw perhatiin sekarang kayaknya lu sama anaklu berubah deh. Padahal dah lama David meninggal. Ada apa sih?”
“Lho, emangnya kenapa?”
“Udahlah, gak usah bohong.”
“Iya deh. Kan sebentar lagi ada rencana mau liburan.”
“Dari dulu anak gw males kalo disuruh belajar. Cuma akhir – akhir ini semenjak anaklu sering ngajarin anak gw, kayaknya anak gw jadi agak pintar dah. Lu apain tuh anaklu?”
“Ya biasa. Gw ingetin mau jadi apa ntar kalau males terus.”
“Bohong lu. Gw aja bilang kayak gitu malah gak ngefek.”
“Ya mau bagaimana lagi. Mungkin apa gw juga gak tau.”
“Ya elah, malah maen rahasia – rahasiaan. Tapi terserah dah, yang penting gw seneng liat lu kembali ceria kayak gini. Semenjak laki lu meninggal, kayaknya lu ikutan meninggal. Tapi kini, lu kembali lagi gila seperti dulu. Kok bisa gitu sih setelah sekian lama?”
“Gila lu ya. Ya gw kagak ikut suami gw lah. Gw cuma fokusin jadi emak yang baik bagi anak gw.”
“Bener nih. Dulu lu berubah jadi pendiam.”
“Ya mungkin waktulah yang ngerubah gw. Ntar deh liat aja jumat nanti.”
“Mah!” suara Dana menggelegar.
“Di sini nak. Lagi sama mamanya Dewo,” teriak Diana.
“Mah, ntar liburannya yang lama yah. Eh, Bu Dewi.”
“Eh Dana.”
“Sekalian aja pindah kerja dan kuliah di sana,” canda Diana.
“Siap mah. Ntar Dana cari infonya di internet,” Dana terdengar serius.
“Mama bercanda sayang.”
Dana tak menjawab namun malah bergegas ke kamarnya. Diana melihat wajah Dewi yang menunjukan ekspresi aneh.
“Apa lu?”
“Kalau gw pake baju kayak lu, pasti anak gw melototin terus. Tapi si Dana malah gak tertarik tuh. Lu apain dia?”
“Biasa aja lah. Lagian cuma baju gini kok. Ntar juga kalo jadi liburan mungkin liat lebih dari ini.”
“Apa lu mau telanjang?”
“Gak gitunya juga kali.”
“Lu kembali gila. Pasti ada yang lu tutupin dari gw.”
“Lah, lu malah curiga sih?”
Beberapa saat kemudian Dewi berusaha menanyakan kepenasarannya. Namun yang Dewi dapat hanya kekecewaan. Akhirnya Dewi memutuskan untuk pulang.
***
Dana muncul tepat saat telepon berbunyi.
“Bu Dewi ngapain mah?”
“Biasa,” kata Diana lalu mengangkat telepon. “Halo.”
“Na, ini Yanti. Seneng liat kamu kembali ceria.”
“Ya, kayak dulu lagi.” Diana menyadari anaknya sedang menatap dirinya dari atas ke bawah sambil mengangkat alisnya. Diana lalu menjepit telepon dengan bahu, lalu mulai melepas pakaiannya. Pakaian itu lalu dilemparkan ke sofa.
“Gini, gw seneng lu mau ikut ngumpul ntar. Tapi …”
“Tapi apa?”
“Si Chip jadi ngamuk nih denger anaklu mau liburan. Jadi kalau lu gak keberatan, tolong ajak anak gue dong. Kalau lu setuju, ntar gue bayarin akomodasinya.”
Diana melihat Dana meninggalkan ruangan.
“Gue sih gak keberatan, tapi mesti tanya si Dana dulu. Ntar gw kabarin lagi keputusannya.”
“Oke, makasih ya Na.”
Diana menutup telepon berbarengan dengan munculnya Dana sambil membawa kamera digital dan kemeja putihnya.
“Mau diapain tuh baju?”
“Mah, makannya mau pesan gak, sekalian mama jadi model kamera Dana?”
“Iya deh terserah kamu. Tapi mau apain tuh baju?”
“Jadi ntar pas tukang makanannya datang, mama ambilnya sambil pake ini saja.”
“Apa?”
“Iya mah. Sekarang kan lagi dingin. Kasian tuh tukang anter makanan. Biar jadi anget dikit. Biar hot gitu loh.”
“Kenapa kamu dulu gak negosiasikan tentang nilai? Biar mama gak kena masalah kayak gini.”
“Lho, kan mama yang pertama mulai. Dana hanya belajar dari yang terbaik dong mah.”
“Gak usah muji deh.”
“Lah mama. Jadi gimana mah?”
“Tapi dikancingin ya, setuju?”
“Hanya tiga kancing dari paling bawah, setuju.”
Diana menatap kemeja, “Mama tinggal membungkuk lalu orang – orang pada ngedeketin dah.”
“Jangan membungkuk dong mah.”
“Iya deh. Tapi kalau yang nganternya cewek, yang bayarnya kamu. Tapi hanya pake celana pendek.”
“Kalau gitu, Dana setuju asal mama cuma kancingin dua kancing saja.”
“Baiklah. Dua kancing, tapi kalau yang ngirimnya cewek, kamu yang mesti ngambil sambil goyangin pantat kamu.”
“Kalau gitu sih, mama jangan kancingin baju mama ntar kalau cewek Dana yang ambil sambil goyang.”
“Baiklah. Asal adik kecilmu mesti keliatan… Plus kamu ajak mama ntar main keluar.”
“Setuju.”
“Gak usah banyak senyum. Dulu juga papamu pernah bikin mama kayak gini, sampai handuk mama lepas saat bayar.”
Diana lalu memikirkan menu yang akan dipesannya. Setelah yakin Diana menyambar kemejanya.
“Kamu punya niat busuk apa lagi sama mama?”
“Gak ada niat busuk, cuma apa mama gak kepanasan pake kemeja di dapur?”
“Dasar kamu. Mama mandi dulu ah… biar nanti seger pas liat kamu show.”
Diana mandi namun tak berlama – lama. Diana menuju kamar anaknya lalu mendorong pintu dengan kakinya hingga terbuka. Terpampanglah Diana yang sedang berdiri, memakai kemeja namun tiada satupun yang dikancingkannya.
Dana langsung menyambar kamera lantas memotret.
“Mama makin hari makin cantik aja.”
“Ngegombal aja kamu nak.” Namun Diana malah terlihat berseri – seri. Diana lalu memutar tubuhnya membuat kemeja itu seolah melayang.
“Apa wanita diajari cara khusus agar bikin pria gila mah?”
“Tentu tidak sayang. Mungkin memang sudah insting,” kata Diana sambil berbalik membelakangi anaknya. Diana lantas menarik ujung kemejanya ke atas hingga memperlihatkan pantat, lalu menggoyangkannya. Diana menyeringai saat mendengar bunyi klik. Diana malah berharap agar pengantar makanan adalah pria.
Setelah beberapa menit berlalu ibu dan anak itu pun ke dapur.
“Nah, tukang foto, kamu mau mama gimana?”
“Coba mama duduk dikursi sambil menyilangkan kaki. Terus tangan mama taruh di lutut.”
Diana menuruti. Klik.
“Sekarang coba mama rebahan di meja sambil tangan mama ke depanin.”
Diana menuruti. Klik. Saat Diana bangkit, satu payudaranya terbuka membuat Dana menyesal tak mengambil gambar pas momen itu.
“Sekarang coba mama berdiri dekat kompor, tarik baju mama ke bawah dan tatap kamera.”
Diana menuruti. Klik.
“Sekarang …” suara Dana terpotong oleh ketukan di pintu.
Diana berbalik memperlihatkan seluruh tubuh bagian depan karena kemejanya hanya tergantung di lengan. Dana menyadari putting mamanya agak mengeras. Dana dan mamanya pun saling tatap. Dana lalu mengabadikan momen itu sebelum ketukan berbunyi lagi. Mereka lalu bergegas ke ruang depan. Dana mengintip sementara Diana menunggu.
“Yes. Yang nganternya cowok mah.”
Diana menyeringai, membetulkan kemeja dan mengancingin dua kancing terbawah.
“Dasar kamu hoki. Siapin uangnya!”
Dana mundur lalu mengeluarkan uang dari dompetnya sambil melihat mamanya mendekati pintu. Sebagian susu mamanya terlihat namun tetap tak menunjukan areolanya.
“Maaf ya tante baru aja keluar dari kamar mandi.”
“Ng… Ng… Man… Tat… eh… Nggggaakkk apa… tanttte.”
Pintu lalu dibuka dan makanannya langsung disambar oleh Diana. Saat Dana mendengar suara orang terkesiap, Dana tahu pasti ada yang terlihat. Diana lalu mundur dan menyerahkan makanan ke anaknya. Entah kenapa Dana malah melihat wajah mamanya seperti senang. Dana menyerahkan uang ke mamanya yang langsung diraihnya sambil berseringai. Tangan kanan Diana meraih uang sementara tangan kirinya menarik paksa dua kancing hingga terlepas dan berjatuhan yang tentu saja terlihat oleh pengantar makanan betapa ada kancing yang jatuh.
“Ntar mama benerin,” bisik Diana ke anaknya. “Sekarang waktunya kamu pergi. Sembunyi!”
Diana melangkah mundur lalu berbalik sambil mencoba menutup kemeja dengan tangannya. “Makasih ya. Nih uangnya,” kata Diana yang langsung diambil oleh pengantar makanan. Pintu pun ditutup. Diana lalu berbalik dan bersandar ke pintu. Kemejanya naik turun seirama dengan dadanya yang naik turun. Lalu Diana menatap anaknya.
“Mama jadi bening.”
“Huh?”
“Udahlah, ikutin mama.”
Diana melangkahkan kakinya ke dapur. Lalu Diana mengambil panci kecil untuk merebus mie yang memiliki pegangan, menduduki meja terus melebarkan pahanya. Panci itu lalu diposisikan agar menutupi selangkangannya.
“Mama tegang bener..”
Panci itu menyentuh sebagian kecil lipatan daging antara dua kakinya membuat seluruh tubuh Diana menegang. Panci itu pun terlepas dan jatuh ke lantai. Satu tangan Diana meraih dan menyentuh rambutnya mengiringi getaran tubuhnya.
“Ooooooooooooohhhh.”
Diana terus bergetar hingga beberapa saat. Kemudian diam. Perlahan – lahan Diana turun dari meja dan berdiri. Diana menatap anaknya. Seluruh tubuh Diana dipenuhi keringat. Diana lalu mendekati anaknya, melebarkan tangan dan memeluknya. Tiadanya kancing yang terpasang membuat payudara Diana menekan dada anaknya. Diana lalu menyandarkan kepala ke bahu anaknya.
“Nikmat sekali orgasme mama barusan. Kamu gak lupa memilmkannya kan?|
“Oh iya. Aduh sial.”
Diana tertawa tanpa melepas pelukannya. “Udahlah, besok kita pesen apa lagi?”
"Yes, yang nganternya cewek” kata Diana sambil berjingkrak.
Dana melepas baju dan melemparkannya ke sofa. Dana lalu melepas ikat pinggang sambil melihat mamanya berjoget.
“Kamu kayak gak semangat gitu sih?”
“Lho, kan awalnya cuma nebak laki atau bukan.”
“Ingat, sampai tiga kali ya.”
“Iya. Yang kemarin Dana sampai telanjang.”
“Kan handuk itu idenya kamu.”
Kini Dana berdiri di hadapan mamanya dengan hanya mengenakan celana pendek. Dana menatap celana pendek anaknya.
“Temen kecil mama mana?”
“Gak usah ditambahin kata ‘kecil’!”
“Sini, mama bantu.”
Diana mengangkat ujung belakang kemeja sehingga pantatnya telanjang. Setelah itu Diana berbalik membelakangi anaknya dan mundur hingga pantat itu menyentuh celana anaknya. Setelah menyentuh, Diana lalu menggesek – gesekkan pantatnya hingga terdapat benjolan yang dirasa cukup besar oleh Diana.
“Ayo goyang duyu…”
“Mama kok kejam gitu sih?”
“Biar kejam, tapi efektif kan.”
Setelah benjolan itu tak lagi membesar, Diana menghentikan aksinya. Diana kembali berbalik lalu menepuk pelan benjolan yang tiba – tiba muncul di celana anaknya. Setelah itu Diana memegang bahu anaknya dan memutar tubuh anaknya lalu mendorongnya.
“Ayo cepet buka, kasian udah nunggu tuh.”
Dana membuka pintu.
“Pak ini pesanannya,” kata pengantar makanan sambil melihat tubuh Dana, dari atas hingga ke bawah.
“Oh ya, jadi berapa?”
“Jadi sekian.”
Dana mengambil makanan yang lalu tangannya menerima uang yang diserahkan oleh mamanya yang sedang sembunyi di belakang pintu. Setelah uang itu diterima oleh Dana, tangan mamanya cepat langsung menarik ujung celana Dana hingga melorot sampai ke bawah. Dana langsung memberikan uang ke pengantar makanan sambil meminta maaf. Setelah itu Dana langsung menutup pintunya.
Terdengar suara tertawa dari luar rumah.
Saat akan melangkah, Dana terjatuh dengan celananya masih melorot.
“Sini mah, Dana mau bunuh mama!”
Diana pura – pura menjerit takut sambil tertawa. Lalu Diana melesat ke dapur yang tentu saja sambil dikejar Dana.
“Kalau mama mati, kita gakkan liburan dong.”
Dana kini ada di sisi meja sedangkan Diana di sisi sebrangnya. Mereka saling melotot. Saat Dana berjalan ke arah kanannya, Diana pun melangkah ke kanannya sehingga posisi mereka tetap sama bersebrangan.
“Ayo, tangkap mama. Pasti kamu bingung setelah tangkap mama!”
“Enggak dong, pemburu selalu punya rencana.”
“Tuh liat, temen kecil mama melambaikan tangan!”
Dana menunduk menatap kontolnya yang terlihat jelas. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Diana untuk berlari ke kamarnya lalu mengunci pintunya.
“Kuat berapa lama di dalam mah?”
“Sampai ada kesepakatan.”
“Kesepakatan apa lagi?”
“Kesepakatan yang bakal menjauhkan masalah dari mama.”
“Oh ya semoga beruntung.”
“Lho, mama juga kan udah tiga kali ngasih pertunjukan ke pengantar makanan. Jadi adil dong”
“Iya. Mama pasti keliatan seksi. Nah Dana, pasti kelihatan bodoh.”
“Mama yakin cewek barusan gak setuju sama kata - katamu.”
“Kenapa mama gak keluar dan tanyakan aja sendiri?”
“Keluar sementara ada pembunuh liar berkeliaran di rumah? Tentu tidak.”
“Meski gak ada makanan?”
“Mama emang berencana diet kok. Ayolah, akui saja kamu juga menikmati aksimu. Temen kecil mama yang bilang kok.”
“Sekarang siapa yang ngawur? Ingat, nyonya sedang terpuruk dalam lubang.”
“Udahlah, ngaku aja kamu juga menikmatinya kan. Bahkan mama yakin kamu masih keras.”
“Terus kenapa?”
Percakapan mendadak berhenti. Kedua pihak seakan sepakat untuk berdiam diri sejenak.
“Mama bakal buat semuanya terserah kamu aja.”
“Caranya?”
“Percaya saja.”
“Enggak ah.”
“Serius nih. Mama nawarin gencatan senjata.”
“Jangan main – main lagi.”
Terdengar suara kunci dibuka. Pintu lalu terbuka perlahan hingga terbuka seutuhnya. Diana menatap anaknya yang masih berdiri.
“Tuh kan, kamu masih keras.”
“Jangan ganti topik, gimana ide mama tadi?”
“Sabar, kamu duduk dulu tuh di kasur”
Dana melangkahkan kakinya ke kasur sambil menatap curiga mamanya yang mendekati meja rias.
“Ingat gak aturannya?” kata Diana sambil mengeluarkan celana dalam hijau dan memakainya. celana dalam itu terlihat sangat pas sehingga lekukaknya sempurna.
Dana terlihat bingung melihat mamanya mendekat. Setelah dekat, Diana berbalik hingga membelakangi anaknya lalu seolah duduk di pangkuan anaknya, namun bukan untuk duduk melaikan untuk menggesek – gesekkan pantatnya. Tangan Diana meraih tangan Dana dan meletakkannya di pahanya.
“Kamu hanya boleh sentuh paha,” kata Dana sambil mencoba menekankan pantatnya lebih dalam.
“Oh tuhan,” kata Dana sambil menarik nafas.
Diana bisa merasakan kontol anaknya yang makin tegang. Diana meletakan tangan di lututnya sambil bergoyang. Mendengar nafas anaknya yang makin tak teratur, Diana bangkit berdiri, menurunkan celana dalam hingga pantatnya kembali telanjang lalu kembali menekan kontol anaknya sambil bergoyang.
“Oh…”
Tubuh Diana tersentak dan tersentak saat kontol anaknya menyemburkan lahar panas ke pantat mulusnya. Setelah lahar itu tak lagi menyembur, kepala Diana berbalik menatap anaknya.
“Nah ingat yang barusan takkan terulang lagi.”
Dana hanya bisa mengangguk menikmati sisa – sisa sensasinya.
“Mama udah lapar nih.”
Diana lalu bangkit berdiri yang segera disusul anaknya. Dari selangkangan keduanya menetes caiar putih kental membasahi lantai. celana dalam Diana pun dilepas.
“Kamu mandi sana. Biar mama bersihin ini. Ntar kita makan di luar aja yuk.”
Diana dan anaknya sedang duduk di meja menunggu pelayan.
“Selamat datang, mau pesan apa?”
Suara pelayan terdengar familiar di telinga Dana. Dana menoleh untuk melihatnya, saat kedua pasang mata itu bertatapan, keduanya terkejut. Ternyata pelayan itu adalah pengantar makanan yang tadi. Namun, tak seperti pelayan dan anaknya, Diana malah tertawa – tawa.”
“Eh, masih lapar ya? Memang lebih enak makan di sini.”
“IYa, kami bosan makan di rumah.”
“Mau pesan apa?” kata pelayan sambil menyerahkan daftar menu.
“Kami pesan teh manis dulu, dua. Iya kan?”
Dana hanya mengangguk tanpa berkata. Dana malu, celakanya wajahnya menunjukan itu.
“Segera.”
Setelah pelayan itu pergi, Diana menatap anaknya. “Apa pun yang terjadi, kamu jangan panggil mama. Panggil aja Diana. Jangan ada yang tau aku mamamu, Paham!”
“Dari semua tempat makan di kota ini, kenapa malah dilayani dia sih?”
“Itulah yang disebut takdir. Meski sebelum pergi kita bisa memutuskan untuk makan di restoran manapun tanpa ada yang memaksa harus ke mana, namun pertemuan ini sepertinya tidak bisa dihindari. Mama ke toilet dulu. Tunggu di sini.”
Diana berjalan menuju toilet, di tengah jalan, Diana berpapasan dengan pelayan tadi. Diana hanya tersenyum namun Dana terlihat semakin gugup dan atau malu.
Diana kembali ke meja. Di meja telah tersedia minuman yang tadi dipesan. Saat Dana menyedot minumannya, Diana lalu menaruh sesuatu di meja yang membuat Dana tersedak. Dana melihat mamanya menaruh celana dalam hijau.
“Biarkan itu terus di meja, berani gak?”
“Mama mau ngapain?”
“Senang - senang dong. Biar jadi kenangan indah buat kamu.”
Namun Dana malah mengambil celana dalam mamanya dan memasukkannya ke saku. Diana hanya menyeringai melihat tingkah anaknya.
“Dasar mama gila.”
“Hehehe.”
Keduanya lalu diam saat pelayan kembali datang.
“Maaf, sudah siap pesan?”
“Saya pesan lasagna aja. Sedangkan wanita cantik ini sepertinya akan memesan chicken parmesan, benarkan Di?”
Diana tertawa, “bolehlah.”
“Tuan memang pintar memilih pasangan. Mau sekalian saladnya?”
“Boleh.”
“Ada yang lain lagi?”
“Tidak.”
“Terimakasih. Mohon tunggu pesanannya,” kata pelayan itu sambil berjalan pergi, namun tetap berusaha menatap Dana.
Setelah pelayan itu pergi, Diana membungkuk hingga kepalanya agak mendekati anaknya, “dia masing ingat saat kamu telanjang lalu membayangkan gimana kamu menyentuh wanita seusia mama.”
Dana menyemburkan minuman dari mulutnya.
“Mama benar – benar gila. Bagaimana dulu tingkah laku papa sama mama sih?”
“Papa dan mamamu pasangan serasi. Tau gak?”
“Pantes saja.”
“Mama dan papa saling mencintai. Pokoknya akan melakukan segalanya demi pasangan. Mama sangat setia, bahkan tak pernah selingkuh. Sepertinya papamu juga begitu. Pokoknya mama dan papa sangat terbuka bagi hal – hal baru. Intinya adalah komunikasi.”
Percakapan terhenti saat pelayan datang membawa salad. Mata pelayan itu tak henti – hentinya mencuri pandang ke Dana.
“Jadi, ‘Diana’ ini biasa seperti ini dulu sama papa?”
“Mama rela melakukan apa saja demi papamu hingga separuh jiwa mama moksa seiring dengan moksanya papamu. Bertahun – tahun mama merasa hidup ini hambar, begitu hambarnya hingga bagaikan tiada lagi yang bisa lebih hambar lagi. Sampai akhir – akhir ini.”
“Sampai akhirnya aku mau jadi mahasiswa.”
Sekarang Diana yang tertawa dibuatnya pun hingga saat pelayan datang.
“Ini makanannya, silakan.” Pelayan mulai meletakkan makanan, namun mulutnya tak berhenti bicara. “Mohon maaf, apabila boleh tahu, berapakan usia tuan dan puan yang sungguh sangat serasi ini?”
“Baru tujuh belas.” Kata Dana.
“Saya sih cukup tua. Bahkan layak untuk menjadi ibu dari anak ini,” jawab Diana sambil tersenyum.
Pelayan itu menggeleng, “Luar biasa. Tuan dan puan sungguh terlihat sangat bahagia.” Pelayan itu masih tetap menggelengkan kepala sambil pergi menjauh.
“Mama ternyata suka mengambil resiko.”
“Mama dan papamu justru pemburu sensasi. Apa lagi yang sangat membuat mendebarkan. Mama jadi kangen masa – masa dulu. Apa kamu sekarang merasa berdebar – debar?”
“Bukan hanya itu, tapi juga takut setengah mati.”
“Itulah sensasinya. Pokoknya ingat, asal jangan sampai ada yang terluka dan harus saling menghormati.”
Aroma makanan membuat pembicaraan berhenti. Berganti dengan acara santap. Makanan pun habis. Diana berdiri melihat pelayan mendekat. Saat pelayan itu menghampiri meja, Diana menyapanya.
“Terimakasih untuk pelayanannya sayang.”
Setelah itu mereka pun keluar dari restoran. Namun sebelum masuk ke mobil, Dana menatap mamanya.
“Berani gak mama lepas rok itu dan nyopir sambil gak pake bawahan?”
Diana tersentak. Diana menatap anaknya lalu melihat keadaan di parkiran itu. Setelah melihat keadaan, Diana kembali menatap anaknya sambil menyeringai. Diana lalu melepas rok dan memberikan ke anaknya.
Angin dingin langsung menyentuh tubuhnya.
Diana langsung duduk di belakang kemudi. Diana lalu menurunkan jendela di pintu kiri.
“Mama gakkan nyetir sampai dapet celanamu.”
Dana menyeringai dan mulai melepas celana panjangnya. Kini di jok belakang terdapat rok, celana panjang dan sepatu.
“Lepas juga dong celana pendekmu?”
“Siap,tapi ada syaratnya.”
“Apa?”
“Dana ingat belum punya video mama lagi make mainan karet mama itu. Gimana, setuju?”
Dana sedang melepas celana pendeknya saat mamanya tertawa sambil berkata setuju. Keduanya kini tidak memakai bawahan sama sekali hingga sampai di rumah.
Sampai di depan rumah, keduanya belum keluar dari mobil. Jalanan tampak sepi sehingga meski mobil mereka melintang agak tengah, tak ada yang memprotes. Pagar masih tertutup. Diana menatap anaknya.
“Berani gak kamu buka tuh pagar tanpa pake celana dulu?”
“Asal mama isep dildo itu di akhir pertunjukan?”
Diana tertawa, “bener – bener cabul.”
“Kan belajar dari ahlinya,”kata Dana sambil keluar dari mobil dan bergegas membuka pagar.
“Sialan mama. Dasar eksibisionis.”
“Ya ya ya … kata orang yang tak bercelana,” kata Diana, tertawa sambil keluar dari mobil.
“Ya ya sekarang waktunya tampil. Dana ingin pantat itu siap.”
“Saatnya anakku kerja,” kata Diana berjalan sambil melepas pakaiannya.
Dana mengikuti mamanya dari belakang, “Mah, daripada telanjang, apa mama punya lingerie?”
“Wow, mungkin masih ada. Gini aja, kamu siapin aja kameranya biar mama juga siap – siap.”
“Oh iya.” Seringai Dana.
Diana beranjak ke kamar mandi di kamarnya untuk mulai menyiapkan diri sementara anaknya memasang tripod. Selesai memasang tripod, Dana duduk di kasur menunggu mamanya muncul.
“Oh, mama cantik sekali.”
“Makasih.”
Diana terlihat cantik memakai lingerie hitam.
“Kamu suka?”
“Iya mah.”
Diana lalu berjalan menuju laci mengambil keluar dildonya. Saat melewati anaknya, Diana menepuk kontol anaknya dengan dildo sambil tersenyum.
“Temen kecil bertemu temen palsu.”
Setelah itu Diana naik ke kasur dan terlentang.
“Cdnya dilepas apa dipake, pak sutradara?”
“Dilepas aja mah.”
“Ya udah sini bukain dong.”
Dana tertegun. Dana mendekat dan menjulurkan tangannya saat mamanya mengangkat pantatnya. Sentuhan tangan Dana pada pinggul mamanya membuat mereka merasakan getaran nafsu yang tak tertahankan. Tangan Dana lalu menarik cd itu. Saat cd itu mencapai lutut, pantat Diana kembali diturunkan dan kini kakinya yang diangkat membuat cd itu akhirnya terlepas seluruhnya. Dana menaruh cd itu di kasur.
“Makasih.”
Setelah itu Diana mengambil dildo dan mulai mendekatkannya ke selangkangan yang dirasanya sudah mulai basah. Diana lalu diam, menatap anaknya.
Dana tertawa seolah disadarkan, “Oh iya, kamera. Duh.”
Dana lalu memainkan kamera yang ditaruh di tripod. “Oke, action.”
Diana kini mulai mengelus – elus dildo itu ke memeknya sambil mengerang. Tak butuh waktu lama bagi Diana untuk mencapai orgasme hingga erangan Diana makin keras namun tertahan, dan tubuhnya pun mengejang. Akhirnya Diana berbaring sambil terengah – engah.
Diana lalu mendekatkan dildo itu ke wajahnya.
“Mama tantang kamu jilatin ini.”
“Apa?”
“Kamu dengar tadi, jilatin aja, gak usah yang lain. Inget aja ini barusan dari mana, jangan bayangin bentuknya.”
Dana terlihat ragu. Namun akhirnya Dana mengambil dildo itu dari tangan mamanya. Dana mulai mendekatkan dildo itu ke mulutnya.
“Papamu dulu suka banget rasanya.”
Meski masih terlihat ragu, namun Dana menjulurkan lidah sambil menutup matanya.
“Okelah.”
Dana lalu duduk di kasur, tangan kanannya memegang dildo sambil menjilatinya sementara tangan kirinya kini menyentuh kontol dan mulai mengocoknya. Hanya sebentar, namun kocokan itu mampu membuat lahar panas menyembur dari kontolnya. Lahar itu membasahi perut Dana sendiri. Dana pun merebahkan dirinya di kasur.
Melihat anaknya berbaring di sebelah dengan perut penuh pejunya membuat Diana membungkuk dan mencolek peju anaknya dengan tangannya. Tangan berpeju itu lalu dihisapnya hingga bersih.
“Mmmhhh… rasanya beda sama rasa papamu.”
Mereka berdua lalu menapa kamera yang masih merekam. Diana menyeringai sambil menatap anaknya.
“Mau buat salinannya untuk pelayan kita gak?”
Diana tertawa menyadari anaknya terkejut. Diana lalu bangkit menuju kamar mandi.
“Pingin tau selanjutnya? Mainkan aja imajinasimu.” Kata Diana sambil menutup kamar mandinya.
Dana hanya berbaring sambil menyeringai. Mencoba berimajinasi.
Dana sedang duduk di dapur sambil memperhatikan mamanya mencuci piring. Pantat mamanya terbungkus celana dalam hijau. Dana bertanya – tanya, mengapa mama memakai cd? Namun setelah kira – kira sepenanak nasi, Dana baru menyadarinya. Ternyata mamanya sedang datang bulan.
“Gimana ini mah? Kalau lagi datang bulan trus kita mau ngapain?”
“Kamu sih enak gak terganggu masalah kayak gini.”
Tok … tok …
“Kamu pesen makanan lagi?”
“Enggak mah. Gak pesen apa – apa kok.”
Diana bergegas ke kamarnya untuk memakai pakaian sementara anaknya menuju pintu untuk membukanya.
Tak lama kemudian, Dana muncul di dapur bersana Dewi dan Yanti. Di dapur sudah ada Diana yang hanya berkaos saja. Dengan celana dalam tentu.
Dana tersenyum melihat mamanya, “Dana pergi dulu mah.”
Dewi dan Yanti lalu duduk di kursi sambil memperhatikan penampilan Diana yang bersender ke wastafel.
“Lu liat kan, Anaklu bahkan gak merhatiin lu.”
“Emang kenapa?”
“Kalag gw pake baju kayak gitu di rumah, udah dipelototin terus sama anak gw.”
“Lho, emang gw telanjang. Lagian gak bakalan ada yang tau gw pake cd apa.”
“Ijo,” kata Dewi dan Yanti berbarengan.
Diana hanya menggelengkan kepala mendengarnya.
“Seenggaknya gw pake baju. Lu kira gw telanjang sambil joget – joget depan anak gw.”
“Tiap anak laki pasti ngintipin emaknya. Tapi anaklu malah cuek aja. Gak normal tau.”
“Lo kira anak kita homo apa?”
“Gw pernah nemuin film porno di komputernya si cipto.”
“Iya bener, anak gw juga gitu.”
“Udahlah, kok malah ngomong yang aneh – aneh sih. Mau ngapain sih lu lu pada ke sini?”
“Oh iya, kok jadi ngelantur gini. Kita – kita mo minta maaf kemarin kemarin udah agak neken lu.”
“Gak apa apa lagi. Gw udah biasa.”
“Hehe…”
“Trus gw udah maksa lu ngajak si cipto liburan juga.”
“Gak apa – apa. Biar si Dana seneng ada temennya. Daripada cuma sama gw, emaknya, mana udah tua lagi.”
“Eh, bay de wey baswey, keberatan gak kalo sekalian ajak si dewo. Dia denger si cipto diajak makanya dia pingin ikut.”
“Duh, ngasuh tiga anak cowok saat liburan. Setua gini masih ngasuh juga,” kata Diana sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. Namun Diana berhenti saat melihat wajah Dewi yang terlihat gugup.
“Lu kira gw mau ngapain?”
“Ya, biasa. Kayak lu yang dulu.”
“Emangnya gw pernah nyelingkuhi David?”
“David udah al – marhum sayang.”
“Nah, sebelum gw nemuin yang baru, gw gak kan buka toko dulu.”
“Tapi, apa lu gak terpesona liburan sambil ditemenin tiga pemuda?”
“Anak – anak. Bukan pria yang bakal gw temenin hingga akhir hayat. Lagian mereka kan anak kita.”
“Anak laki. Bukannya laki. Lagian, kalau lu kira bakal kayak gitu, mending kagak usah libur aja sekalian…”
“Segila apapun kita dulu, dan atau sekarang, gw tau lu gak pernah main sama laki kita bertiga. Gw tau gw bisa mercayain anak gw ke lu. Tapi, delapan tahun gak ngapa – ngapain; hormon lu pasti berontak. Gw cuman cemas lu akhirnya memuntahkan semua lahar yang terpendam selama bertahun – tahun itu, dengan sengaja maupun tidak.”
“Gak usah khawatir. Delapan tahun gw bisa nahan, delapan tahun lagi gw juga bakal mampu nahan.”
“Maaf deh gw malah ngomong yang aneh – aneh. Gw percaya, bahkan gw sayang sama lu. Hanya saja, setelah delapan tahun lu kembali normal lagi. Maafin gw ya.”
“Iya, gw ngerti. Gw paham kalau lu khawatir sama anak lu. Tapi kalau lu gak yakin gak usah izinin anaklu ikut aja.”
“Bisa – bisa dia puasa ngomong sama gw.”
“Lu yakin?”
“Apa, gak mau ngomong sama gw?”
Para wanita lalu tertawa meski pertanyaan yang dilontarkan tidak mendapat jawaban.
“Jadi gw tinggal siapin agar dewo bisa ikut?”
“Ya udah, gw cabut dulu ya.” Yanti pun bangkit, pamit lalu meninggalkan rumah sahabatnya itu.
Diana akan melangkah saat dihentikan oleh Dewi.
“Tunggu Na.” Dewi menelan ludah.
Diana duduk di kursi sambil menatap Dewi, curiga.
“Gw gak jadi enak sama lu. Akhirnya lu kembali kayak dulu lagi. Setelah kemarin – kemarin lu kayak mayat hidup. Tapi, gw merasa lu jadi tertutup. Padahal ini gw, temen deket lu selama ini. Ada apa sih?”
Diana tak segera berujar, namun terus menatap Dewi. Dewi merasakan kegugupan yang coba disembunyikan oleh Diana.
“Terus, selama delapan tahun ini, apa lu ga berubah?”
“Gw merasa bosan. Begitu bosannya hingga kadang terlintas di benak untuk ngerjain si dewo dengan ngajak dia maen kartu.”
“Terus, kenapa lu gak ajak?”
“Apa?”
“Dewi yang dulu pasti bakal merasa tertantang.”
“Tapi, dia anak gw.”
“Berkelamin lelaki. Udah gede. Lagian ngajakin maen kartu gak berarti berujung pada seks. Sekali
lagi, Dewi yang dulu pasti udah tertantang. Sejauh mana sih perubahan lu?”
“Emang si Dana lu apain?”
“Selama delapan tahun gw gak ngapa – ngapain anak gw.” Diana menghentikan ucapan lalu menatap mata Dewi dalam diam. “Tapi kini, hanya dalam sekejap.”
“Serius lu?”
“Apa lu yakin mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi?”
“Maksud lu?”
“Ada sesuatu yang mesti gw katakan. Gw paham jika sehabis lu dengerin cerita gw, mungkin lu bakal jijik, bahkan lu bakal gak mau lagi kenal gw. Keluarga gw. Mungkin juga lu bakalan ngelarang Dewo agar tak berhubungan lagi dengan keluarga gw.”
“Gak mungkin.”
Diana kembali menatap Dewi sebelum melanjutkan percakapan. “ Menjelang senja nih. Lu ada kegiatan ntar sampai malem?”
“Gak juga sih. Laki sama anak gw gak ngomong apa – apa. Emang mau sampe jam berapa?”
“Kira – kira jam sepuluhan lah…”
Dewi lalu memiankan hp untuk memberitahu keluarganya. Diana menghilang dari pandangan Dewi untuk muncul lagi beberapa saat kemudian, lalu duduk di meja dapur.
“Kenapa lu mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi. Apa lu gak bahagia sama hidup lu yang sekarang?”
Dewi berpikir sejenak. “Gw masih cinta ama laki gw. Ama keluarga gw. Gw gak pernah lupa hubungan gw dulu sama laki gw, tapi kini serasa hambar. Apalagi laki makin sibuk sama kerjaannya.”
Tiba – tiba muncul Dana menghampiri mereka. “He bu Dewi, bu Yantinya ke mana? Udah sepuluh menit nih mah, ada apa sih?”
“Duduk nak. Bu Yanti udah pulang. Tinggal kita aja. Bu Dewi sangat suka main kartu. Tapi mama ragu apa Bu Dewi mau main malam ini. Jadi kalau Bu Dewi gak mau main, mama bisa ngajakin kamu main, berdua aja.
” Selesai berbicara lalu Diana meletakan satu pak kartu di meja.
“Apa?” teriak Dewi terjekut.
“Hah?” Dana tak kalah terkejut.
“Lu mau kembali kayak dulu? Inilah caranya.” Kata Diana sambil mendekatkan kartu ke arah Dewi.
Dewi memandang Diana. Memandang Dana. Memandang kartu. Diana hanya menyeringai saat dipandang sahabatnya itu.
“Dijamin lu gakkan merasa bosan.”
“Main kartu trus ngapain mah?”
“Biasa. Tapi kalau ada yang kalah, mesti lepas pakaian satu – satu hingga habis.”
“Tapi mama kan cuma pake daster doang.”
“Iya, kalau daster mama lepas, yang menang boleh nanya apa saja.”
“Siaplah. Dana ikut main deh.”
“Lu penasaran sama perubahan gw kan Wi, nah lu punya kesempatan.”
“Kalian pernah main gini sebelumnya?” Dewi bertanya sambil menatap Diana dan Dana bolak – balik.
“Main kartu sih iya. Tapi main kartu. UDah, ntar aja lagi gw jawab kalo lu menang.”
“Jangan sampai Dewo tau tentang ini,” kata Dewi sambil meraih kartu.
“Terserah lu itu mah, karena gw sama anak gw gak kan pernah bilang.”
“Lu yakin Dana gak kan ngomong?”
“Gw percaya anak gw. Apalagi anak gw udah bisa megang rahasia selama ini.”
“Maksudlu?”
“Lu mau tau jawabnya?”
“Kamu udah gede kan?” Tanya Dewi kepada Dana.
“Baiknya saya bawa ktp dulu.” Dana mulai bangkit dari kursinya.
“Jangan sampai dia ke kamar, bisa – bisa pake jaket tiga lapis.”
“Kan belajar dari ahlinya.”
“Apa, kamu belajar dari ibumu? Benar – benar sial.”
“Tenang aja. Bisa jadi kita yang kalah.”
“Jangan banyak ngobrol, Dana mesti sekolah besok.”
Kartu pun dikocok, lalu dibagikan. Ternyata Diana menang, Dana yang kalah. Dana melepas kaosnya.
Putaran selanjutnya Dewi yang kalah. Dewi melirik Diana, lalu melirik Dana. Setelah itu Dewi melepas kaosnya. Terlihatlah bh hitamnya, meski tidak seperti bh hitam tante denok, namun terlihat menantang bagi Dana.
“Sip…” Diana bertepuk tangan.
“Ya… ya…” Kata Dewi sambil mengambil lalu mengocok kartu. “Fokus nak. Mamamu mesti dikalahkan.” Kata Dana sambil menatap Dewi.
“Iya bu.”
Ternyata Dana kalah. Dia pun melepas singletnya. Dewi menatap dada Dana yang telanjang.
“Jangan – jangan kartunya sudah diatur nih,” celoteh Dana.
“Tentu tidak. Ini bukti kalau perempuan lebih pintar.” Kata Dewi sambil memperbaiki posisi bhnya.
Diana kalah juga. “Kita lihat apakah ada perubahan setelah delapan tahun,” kata Dewi.
Diana melepas kaos lalu melemparnya ke lantai.
“Agak gemukan kayaknya,” kata Dewi sambil melihat Dana. Dana sedang menyeringai ke mamanya.
“Gw tahu. Dana udah melihat tubuh itu. Matanya gak begitu terkejut.”
“Baik, Dana udah melihat wanita telanjang. Besok Dana mesti sekolah, jadi selamat malam.”
“Kalau kamu pergi berarti liburan pun gak jadi.”
“Bener, jika masih mau main sama Dewo. Lagian, tante udah sering liat mamamu telanjang. Jadi biasa aja tuh.”
Dana terpaksa duduk lagi.
Putaran berikutnya Dewi menang, Diana kalah. Karena Diana tak bisa melepas cd, jadi Dewi berhak bertanya dan Diana mesti menjawab. “Kapan Dana pertama kali liat tubuhlu?”
“Hehe… kita kadang mandi bareng. Ya… setelah tiga kali mungkin…”
“Oh tuhan, Omong kosong.”
“Kan lu yang nanya.”
“Parah…”
Berikutnya Dana menang, yang kalah masih Diana.
“Benar kata bu Dewi, omong kosong. Jawab aja yang jujur mah!”
“Baiklah. Dia liat kira – kira satu setengah atau dua bulan ke belakang.”
“Nah, lebih masuk akal jawabannya. Gimana awalnya?”
“Itu jawaban buat pemenang berikutnya…”
Putaran berikutnya kembali Diana kalah.
“Sampai mana tadi, oh ya, gimana awalnya?”
“Lu inget gak saat lu nanya kenapa anak gw jadi pinter. Nah, waktu itu jawabannya ngarang. Kamu mau jelasin Nak?” kata Diana sambil menatap anaknya.
“Saat itu Dana gak mau kuliah. Namun mama janji kalau Dana mau kuliah dan nilai Dana membaik, mama bakalan telanjang di rumah jika hanya berdua .”
“Gak mungkin. Gila…”
“Dia lupa bilang, selain gak boleh cerita sama siapa pun juga gak boleh sentuh.”
“Bercanda ah. Eh, tapi, itu kelakuanlu delapan tahun silam. Liar dan nakal.” Dewi bolak – balik menatap Diana dan Dana. “Benar - benar liar, nakal. Kasihan anak lu, bisa liat gak bisa nyentuh. Terus – terus …”
“Ya kasihan juga. Tapi dia berhasil bikin gw lakuin hal – hal gila lainnya. Bener – bener persis bapaknya…”
“Ceritain dong.”
“Ntar kalau lu menang lagi.”
Namun putaran berikutnya Dewi kalah, hingga terpaksa melepas celananya.
“Liat nak, apa cdnya selaras dengan bhnya?” kata Diana menatap anaknya.
“Iya mah.”
“Kalian ibu dan anak sama – sama gila.”
“Bentar, gw ke kamar mandi dulu.” Kata Diana lalu bangkit.
“Jadi kamu liat mamamu telanjang selama dua bulan ini nak?” Dewi menatap Dana penasaran.
“Iya.”
“Mamamu seksi sih.”
“Ah, bu Dewi juga seksi lho,” Dana mulai mencoba peruntungan, sambil belajar SSI.
“Makasih nak. Tante tau kamu bilang gitu agar bisa liat tante telajang, seperti mamamu.”
“Gak gitu. Ini rahasia tante, tapi kami, Dewo dan Cipto, sering ngobrolin siapa mama paling seksi.”
“Begitu ya? Tapi mamamu belum tua – tua amat.”
“Gak juga. Sebelum perjanjian, mama terlihat tanpa gairah. Pucat dan terlihat tua. Namun beberapa hari ini, mama terlihat bersemangat.”
“Tante percaya. Tapi apa kalian senang menjalaninya?”
“Memang godaan untuk menyentuh, bahkan merengkuh tubuh mama selalu datang melanda. Tapi Dana berusaha patuh.”
“Jadi bener – bener tanpa kontak fisik? Wow.”
“Tentu. Lagian ini kan mama Dana. Dana juga menyayangi mama.”
Diana kembali, lalu menatap mereka. “Masih pada berpakaian, bagus.”
“Dana juga mau ke kamar mandi.” Katanya sambil bangkit.
“Jadi, gimana meunurut lu?”
“Gw gak tau mesti mikir apa. Tapi udah lama rasanya gak ngerasain nih perut berkenyut – kenyut seperti sekarang ini.”
“Nah, itu. Beberapa hari terakhir denang Dana membuat perut gw seakan kembali diaduk. Luar dari pada biasa,” kata Diana sambil memutar jemari di perutnya.
“Kenapa gak ngelangkah lebih lagi?”
“Ya jelas dia anak gw. Tentu gak bisa jadi suami gw. Dana mesti nikmatin hidupnya, raih pengalaman sebanyak mungkin. Biar bisa jadi laki fearless… Tentu semua itu gak bisa dia raih jika sama gw. Lagian, dia belum cukup pengalaman buat bisa nafkahin gw, terutama nafkah lahir.”
“Lu ngomong apa sih? Maksud gw seks, ngewe. Bukan yang lainnya.”
“Bagi gw, seks bukan sekedar ngewe. Mesti spesial.”
“Bener – bener Diana yang dulu. Liar, nakal, brutal membuat semua orang menjadi gempar. Anehnya gak mau ngewe selain sama laki lu dulu.”
“Nah, itu maksud gw, mesti liar, tapi apa lu sanggup ngewe siapa aja? Mesti banyak pertimbangan. Jangan sampai pada akhirnya cukup bilang ‘saya prihatin.’”
“Nyindir gw lu yah? Itu sih udah lama banget.”
“Meski gitu, si Yanti gak pernah berubah. Malah gw rasa jadi agak ada jarak dia sekarang ini.”
“Dia bener – bener rindu lu yang dulu. Gw akuin itu.”
“Ya mau gimana lagi.”
“Gimana rasanya telanjang di hadapan anaklu?”
“Rasanya gw dulu terlalu sibuk di dapur, hingga akhirnya begitu.”
“Begitu gimana mah?” kata Dana sambil melangkah masuk.
“Kamu ada di sini?” tatap Dewi ke Dana.
“Jangan dibiasakan menguping percakapan orang, gak baik.” Kata Diana sambil memukul tangan anaknya.
Dewi menatap Dana, “Kamu benar – benar anak mamamu.” Lalu menatap Diana, “Tapi gw cemburu, kalian jadi begitu dekat. Gak ada jarak.”
Diana menarik anaknya lalu memeluknya. “Ya, gimana lagi. Gw cinta banget anak gw. Meski nakalnya bukan main.”
“Duh, sekali lagi. Pelukan ini malah membuat tersiksa.”
Diana melepas anaknya, lalu melihat dadanya. “Mau gimana lagi …” Kini Diana menatap Dewi,
“Kamu tau nak, malam ini bukan hanya mama yang bisa membuatmu tersiksa.”
“Benar mah, bentar lagi bu Dewi pasti telanjang.”
“Sebelum tante juga pasti kamu duluan.” Kata Dewi sambil mengocok botol, ngocok kartu.
“Kok pada ngobrol cabul di tempat gw.”
Mereka memainkan kartu. Berkonsentrasi agar tidak kalah. Namun akhirnya celana Dana yang lepas. Otomatis Dana hanya tinggal memakai cd nya.
“Nah, bentar lagi ketemu sama temen kecil mama.”
“Udah Dana bilang gak perlu pake temen kecil segala. Kayaknya Dana mesti terapi atau apalah – apalah.”
“Gak usah sok ngomongin harga diri. Coba ingat, berapa orang temanmu sekarang yang lagi sama wanita telanjang.”
“Jadi inget, lu pernah liat anaklu telanjang gak?”
“Kalahin gw dulu dong.”
“Udah, sini kartunya.” Kata Dana sambil mengambil kartu lalu mengocoknya.
Kali ini Dewi kalah.
“Hahaha… lepas lagi nih.” Diana bertepuk tangan.
“Haha… lu mesti malu sama diri lu.” Kata Dewi sambil meraih punggungnya sendiri. Dewi tersipu malu melihat mata Dana yang menapat tubuhnya. Dewi melepas bh dan melemparkanya ke dekat Diana yang sedang berseringai. “Gw muak liat seringai lu.”
“Hati – hati, kalau lu banyak gerak, bakal bikin susulu naik turun. Kasiah si Dana.”
Namun, Dewi malah meletakan tangan di bawah susunya, lalu mengguncang – guncang susunya dengan tangannya sendiri, “nih, biar makin tersiksa.”
Dana hanya bisa melihat sambil menelan ludah. Diana dan Dewi hanya tertawa. Pada putaran berikutnya, Dana kalah.
Dana berdiri, “jangan sampai Dewo dengar tentang ini.” Dana melepas cdnya. DI wajahnya terlihat betapa ia malu. Kontolnya sudah agak tegang. Setelah telanjang, Dana kembali duduk.
“Salut tante, kamu udah Dewasa,” kata Dewi menatap Dana sambil tersenyum.
“Iya makasih.”
Tiba – tiba telepon berbunyi. Diana bangkit dan meraihnya. “Wi, ini dari Widia nih.”
Dewi pun bangkit. Saat berjalan, susunya memantul bergerak liar.
“Duh, gw inget baju basket si Widia belum di cuci.”
“Lu sengaja ya rencanain bilang gitu.”
“Sengaja? Gw malah pingin tanding ulang lagi minggu depan. Juga, Dana…”
Dana telah membawa pakaiannya dan akan ke kamarnya saat dia dipanggil. Dana lalu berbalik.
Dewi meraih cdnya, lalu menurukan hingga lepas. “Jangan dengarkan kata – kata mamamu.” Dewi berdiri dengan tangan di pinggulnya.
Dana melongo melihat sahabat mamanya berdiri telanjang di hadapannya. “Makasih tante, tenang saja, Dana takkan dengar ucapan mama kok.” Setelah itu Dana melihat Dewi mulai memungut pakaiannya dan memakainya kembali.
Diana kembali memakai pakaian, lalu ke pintu mengantar Dewi. Dewi lalu berbalik dan memeluk Diana.
“Makasih. Abis gw cuci baju Widia, si Jefri gak bakalan tau apa yang ntar terjadi.”
Diana tertawa hingga Dewi hilang dari pandangannya.
“Yes” Diana berteriak sambil bergoyang. Di tangannya tergenggam remot wii. Goyangan tubuhnya membuat kedua susunya yang basah dipenuhi peluh berguncang tak mau diam.
Dana menjatuhkan diri ke sofa hitam di belakang mereka. Kepalanya menunduk sambil duduk.
Diana membungkuk menyentuh jemari kaki sambil melemaskan perut dan ototnya. Sedang di belakangnya, anaknya sedang disuguhi pemandangan indah, berupa pantat montoknya yang ditutupi celana biru muda. Namun, dari sela kakinya Diana melihat anaknya hanya melempar remot wii dan menyandarkan kepala ke sofa.
Pun Diana mendekati anaknya lalu ikut bersandar di sebelahnya.
“Ada apa sih? Tumben cuekin pantat mama.”
“Entahlah mah. Rasanya kesal banget nih.?”
“Kesal kenapa?”
“Bener mama mau tau?”
“Iya dong sayang,” kata Diana sambil melingkarkan lengannya di bahu anaknya.
“Dana seneng mau liburan sama mama, juga sambil ngajakin temen. Tapi di sisi lain, Dana merasa gak seneng juga temen Dana ikut.”
Bersambung...
“Cantiknya!”
Rambut Diana masih basah. Wajahnya memakai make-up yang bahkan belum pernah terlihat secantik ini oleh Dana. Tubuhnya berkilau dan mengeluarkan aroma baby oil. Tangan kanan Diana memegang dildo. Tak lupa kakinya memakai highheel.
Diana melihat ruangan yang telah disiapkan anaknya dengan takjub, “Kamu siapkan ini sendiri?”
Untuk kali pertama Diana melihat betapa anaknya sangat terpesona hingga tak bisa berkata – kata. Diana berjalan sambil mengelus dadanya, lalu elusannya turun ke pantat hingga pantat itu duduk menyentuh sofa hitam.
Pantat Diana yang berminyak kini duduk di sofa. Satu kaki dibuka lebar hingga tumitnya mengenai sisi sofa. Sedangkan kaki satunya dipanjangkan ke bawah.
Nafas Dana tercekat melihat memek mamanya yang telah bersih tiada rambut sehelai pun. Jelas terlihat lipatan memeknya. Apalagi dengan olesan baby oil membuatnya memantulkan cahaya.
Melihat anaknya terpesona, Diana mengambil dildo dan memposisikan di vaginanya, namun tanpa melakukan penetrasi.
“Jangan salahkan mama kalau kamu sampai lupa ngerekamnya. Serangan di Pantat Tua Mama jilid Dua.”
Begitu Diana selesai berbicara maka dildo itu langsung berusaha memasuki pantat Diana. Beberapa bagian sofa kini telah dipenuhi minyak yang menetes dari tubuh Diana.
Dana langsung memainkan kameranya sambil terus membasahi bibir dengan lidahnya. Tangannya begitu sibuk memainkan tombol yang ada di handycam.
Diana mencoba tersenyum di sela – sela erangan yang terus keluar dari mulutnya.
“Kamu tuh jangan cepat – cepat matiin kameranya terus pergi. Siapa tahu kali ini bisa ngerekam saat mama bersihin dildo pake mulut mama seperti yang terakhir.”
Mulut Dana ternganga mendapati adegan yang dilewatinya.
Diana perlahan menarik dildo dari pantat lalu mendekatkan ke wajahnya.
“Kayak gini nih.”
Diana lalu memasukan dildo ke mulut dan memainkannya. Tak lupa juga menjilatinya.
Dana merasa penisnya makin keras dan cairan pelumasnya pun keluar membasahi celananya.
“Aduh,” kata dana sambil mengelus celananya.
Diana melepas dildo di mulutnya lalu tertawa. Dildo itu kembali ditempatkan di pantatnya. Diana terus memainkan dildo sambil berbicara.
“Dasar anak muda.”
Setelah beberapa menit, Diana mengangkat lututnya hingga mendekati dada membuat pantatnya makin terlihat jelas. Kini kedua tangan Diana sibuk memainkan dildo di anusnya.
“Unh, unh, unh, unh AHHHHHHH.”
Diana menjerit sambil berusaha memasukan dildo sampai mentok. Kakinya bergoyang, tubuhnya kejang hingga beberapa detik kemudian tubuh Diana pun berhenti gemetaran. Kakinya terjatung lunglai ke bawah.
Setelah beberapa detik, Diana mencabut dildo dari pantat lalu mendekatkannya ke wajah. Dildo itu dijilati Diana lalu dimasukan ke mulutnya. Beberapa saat kemudian Diana asik memainkan dildo di mulut hingga merasa cukup.
“Jadi berantakan gini yah.”
“Iya, mama sih nakal.”
Diana tertawa, “yang penting tugasmu tuh ntar bersihin ini.”
Diana melihat keadaanya lalu bangkit berjalan mendekati anaknya.
“Nah, anak aneh, perjanjian pertama kita telah mama laksanakan.”
Dana langsung mengangguk.
“Sayang sekali. Padahal mama udah siap ronde berikutnya. Nih deh mama kasih sedikit inspirasi buat kamu.”
Diana lalu memeluk anaknya membuat pakaian anaknya kini basah oleh baby oil. Paha Diana juga diangkat untuk membasahi sekitar pinggang dan celananya.
“Kayaknya bajumu perlu dicuci tuh.”
Dana mengerang. Diana menepukkan tangannya.
“Baiklah pejantan muda. Mama beri kamu sepuluh menit untuk siap – siap menghibur mama.”
Dana pun melangkah menjauh menuju kamarnya. Namun saat baru setengah jalan, terdengar suara mamanya.
“Mama taruh baby oil di lemarimu nak.”
Diana menyeringai. Pasti malam ini bakalan seru, pikirnya.
Dana duduk di kasur dengan hanya memakai celana pendek sambil gemetaran. Dana memang jadi terbiasa melihat mamanya telanjang, namun Dana merasa tak nyaman jika harus ikutan telanjang juga. Dana menyadari memang tak adil jika dirinya tetap berpakaian, namun toh bukan salahnya. Dana tak pernah melihat mamanya seliar ini, senakal ini. Terus terang saja kini Dana merasa takut. Dana menduga dia telah mendorong sisi gelap mamanya keluar dan mulai merubah mamanya.
Dana merasa hubungannya dengan mama tak pernah sedekat ini. Dana memang mencintai mamanya, sebagai anak, juga menghirmatinya. Dana sungguh merasa beruntung dengan perjanjian ini, tapi kebenaran yang disampaikan sendiri oleh mama merupakan hadiah tersendiri. Telah terlalu jauh sejak kali pertama Dana melihat mamanya telanjang di dapur.
Dana tersenyum sendiri saat berdiri lalu melepas pakaian terakhirnya, celana pendek. Setelah itu Dana meraih baby oil yang ada di lemarinya.
Diana duduk di sofa menunggu. Keheningan yang ia rasakan sedari tadi membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa anaknya mungkin merasa takut dan atau tidak berani. Satu kosong untuk mama, pikirnya. Tiba – tiba terdengar dentuman suara musik yang kemungkinan berasal dari kamar anaknya. Cahaya tiba – tiba menghilang menjadikan kegelapan yang muncul menyelimuti. Diana menyeringai. Ya tuhan, dia benar – benar akan melakukannya, batin Diana.
Tiba – tiba ada sinar. Setelah ditelisik oleh mata Diana, sinar itu mengarah ke kepala kontol. Ternyata anaknya memegang dua senter yang kini diarahkan ke kontolnya sambil berjalan mendekat. Dana pun sampai di depan sofa yang diduduki mamanya lalu menggoyangkan pinggulnya. Puas bergoyang, tangan kanannya melempar senter lalu memegang kontolnya.
“Mah, kok Dana jadi gini sih?”
“Jangan berhenti nak. Lagian gak apa – apa kok jadi gini juga.”
“Ini dia mah. Siap membuat mama terangsang.”
"Whoo hoo, goyang nak!” Diana tertawa.
Dana memaju mundurkan pinggul sambil tangannya mengocok kontol. Mata Diana berbinar melihat anaknya mengocok kontolnya sendiri. Tak butuh waktu lama Dana pun mengejang seiring dengan menyemburnya sperma yang mendarat di kaki Diana, sofa dan di lantai. Setelah orgasme tubuh Dana berhenti mengejang namun saat akan bergerak kakinya tersandung membuat Dana jatuh terduduk di sofa di sebelah mamanya. Kakinya menyentuh kaki mamanya. Keringat bercucuran di dahi Dana. Nafas Dana terengah – engah.
Diana bertepuk "Hebat, luar dari pada biasa!"
Dana melambaikan tangannya, “santai mah.”
Diana dan Dana saling memangang, lalu keduanya menyeringai.
“Mah, maafin Dana yah udah ngedorong mama terlalu jauh hingga jadi gini. Dana bener – bener menyesal mah.”
“Ya, kamu memang nakal. Tapi mama seneng kamu berani mengakuinya. Lagian mama juga tak terlalu suka per – anal – an.”
“Ya gak apa – apa kok mah asal perjanjian kita yang lain tetap berjalan Dana gak keberatan kok.”
“Mama gak keberatan dengan hal baru, asal tak menyakitkan bagi kita.”
Diana melingkarkan tangan ke bahu anaknya lalu memeluknya dari samping membuat tubuh ibu dan anak itu menempel ketat.
“Sial mah, Dana menyentuh mama.” Dana terlihat panik.
“Ini sih sikap ibu dan anak yang saling mencintai, meski tanpa pakaian.”
Mereka pun menatap tubuh mereka yang penuh baby oil.
“Kok jembut mama dibabat habis sih?”
“Mama hanya ingin memberikan yang terbaik bagi kamu. Lagian kamu tuh bener – bener maksa mama sih.”
Diana dan Dana menatap selangkangan Diana. Seperti berjanji, keduanya sama – sama berbicara “kayaknya jelek deh.” Menyadari kesamaan kata yang terucap, keduanya saling pandang lalu tertawa.
“Untungnya ntar tumbuh lagi. Sekarang kamu tahu kan mama juga bisa mencoba hal – hal baru. Kalau kamu gimana? Mau mulai telanjang di rumah gak?”
“Gak tahu mah. Kayaknya aneh deh.”
Diana memegang payudara lalu mengangkat susunya.
“Mama tak bisa mengatakan bagaimana rasanya hidup dengan selalu menunjukan ini padamu. Mama juga senang kalau kamu gak mau ikut – ikutan. Tapi mama tak akan keberatan kok kalau kamu berubah pikiran.”
Diana dan Dana menatap kontol Dana. Mereka berdua melihat betapa kontol itu kini mulai kembali mengembang.
Begitu muda begitu jantan, pikir Diana.
Diana lalu mendorong anaknya bangkit.
“Kamu bersih – bersihnya ntar mama bantu deh.”
“Setuju,” seringai Dana.
Suasana di foodcourt sebuah pusat perbelanjaan terbilang ramai. Meskipun tidak ber-suasanaseger, namun banyaknya abg yang berlalu – lalang membuat mata serasa segar bagi yang memandangnya.
“Woi, Diana, sini!”
Diana melangkah diantara deretan meja mencoba mencari sumber bunyi tersebut. Di arah kiri depannya ada sebuah meja yang ditempati tiga orang perempuan yang tidak berkalung sorban, usianya kira – kira setengah baya. Salah – seorang dari ketiga wanita itu melambaikan tangannya ke arah Diana. Diana pun bergegas mendekati meja lalu duduk di kursi yang telah disediakan.
“Gimana kabarnya?”
“Iya nih sombong bener.”
“Kok lu keliatan seger sih?”
Tiga suara yang keluar dari tiga mulut yang berbeda langsung menyambut begitu Diana duduk. Diana pun tersenyum sebelum menjawabnya.
“Lah kayak gak tau aja lu lu pada juga kan sibuk – sibuk.” Diana mengambil gehu yang ada di meja lalu makan sambil meneruskan pembicaraan. “Gila lu ya, di tempat kayak gini malah beli gehu.”
“Kan dari tadi kita mau pesen juga nungguin lu dulu. Dari pada bengong yang pesen gehu dulu. Lagian lu juga doyan kan.”
“Kok lu keliatan beda sih?”
“Iya, gw mau ajak anak liburan entar. Biar gak jenuh.”
“Kok badanlu agak beda sih.”
“Iya dong. Gw sering diajakin maen wii sama anak sih.”
“Apaan tuh wii?”
“Itu gim yang pake remot, terus kita maininnya sambil gerak – gerak.”
“O ya. Anak lu kan tukang maen gim.”
“Terus, lu keliatan lebih semangat, gak kayak dulu murung terus sih?”
“Iya dong. Gw kan kini jadi lebih deket sama anak. Apalagi kini tuh anak mau nerusin kuliah.”
Ketiga teman Diana saling pandang mendengar penjelasannya.
“Lah, kayak kita bloon aja.”
“Eh, sumpah deh, gw lagi gak deket sama siapa – siapa.”
“Lu liburan gak mau ngajak kita nih?”
“Enggaklah. Kan sama anak gw. Sebelum lu pade nanya, gw gak seranjang ntar sama anak.”
“Iya lah. Siapa tahu ntar ada laki biar lu bisa bebas.”
“Gak gitu juga kali.”
“Lu beli apaan tuh?”
“Biasa, buat ntar di pantai.”
“Pake aja trus tunjukin ke anaklu biar dia seneng.”
“Apaan sih? Yang ada juga dia malah lari ketakutan,” kata Diana sambil mengambil belanjaannya lalu bangkit.
“Eh, lu mau ikut gak ntar malam sabtu. Biasa kumpul di tempatnya Dewi.”
“Iya. Ntar gw cek dulu kalau anak gw gak keberatan sih,” kata Diana sambil melangkah pergi menjauh.
Diana merenung di rumahnya sambil memikirkan ide yang didapat dari percakapan dengan temannya tadi. Diana jadi ingin mencoba menjadi model pakaian di depan anaknya sendiri. Saat sedang asik merenung, tiba – tiba terdengar suara seperti pintu yang diketuk. Diana pun meraih daster, memakainya lalu membuka pintu.
“Eh, elu Wi, masuk.”
Diana mundur agar temannya, Dewi, bisa masuk. Dewi masuk, melihat Diana yang hanya memakai daster lalu mengelus tangannya.
“Lu pake ginian doang?”
“Iya, kan nyobain yang baru.”
“Gimana kalau anaklu ngeliat?”
“Kan ntar juga pasti ngeliat kalau jadi liburan.”
“Bagus.”
“Mau minum apa? Bikin aja sendiri.”
Diana dan Dewi pun melangkah menuju dapur. Dewi memilih membuat kopi. Dapur pun langsung dipenuhi aroma biji kopi pilihan.
“Gimana Dana di tempatlu?”
“Biasa aja. Maen sama anak gue.”
“Gw udah lama kenal lu sama david. Tapi gw perhatiin sekarang kayaknya lu sama anaklu berubah deh. Padahal dah lama David meninggal. Ada apa sih?”
“Lho, emangnya kenapa?”
“Udahlah, gak usah bohong.”
“Iya deh. Kan sebentar lagi ada rencana mau liburan.”
“Dari dulu anak gw males kalo disuruh belajar. Cuma akhir – akhir ini semenjak anaklu sering ngajarin anak gw, kayaknya anak gw jadi agak pintar dah. Lu apain tuh anaklu?”
“Ya biasa. Gw ingetin mau jadi apa ntar kalau males terus.”
“Bohong lu. Gw aja bilang kayak gitu malah gak ngefek.”
“Ya mau bagaimana lagi. Mungkin apa gw juga gak tau.”
“Ya elah, malah maen rahasia – rahasiaan. Tapi terserah dah, yang penting gw seneng liat lu kembali ceria kayak gini. Semenjak laki lu meninggal, kayaknya lu ikutan meninggal. Tapi kini, lu kembali lagi gila seperti dulu. Kok bisa gitu sih setelah sekian lama?”
“Gila lu ya. Ya gw kagak ikut suami gw lah. Gw cuma fokusin jadi emak yang baik bagi anak gw.”
“Bener nih. Dulu lu berubah jadi pendiam.”
“Ya mungkin waktulah yang ngerubah gw. Ntar deh liat aja jumat nanti.”
“Mah!” suara Dana menggelegar.
“Di sini nak. Lagi sama mamanya Dewo,” teriak Diana.
“Mah, ntar liburannya yang lama yah. Eh, Bu Dewi.”
“Eh Dana.”
“Sekalian aja pindah kerja dan kuliah di sana,” canda Diana.
“Siap mah. Ntar Dana cari infonya di internet,” Dana terdengar serius.
“Mama bercanda sayang.”
Dana tak menjawab namun malah bergegas ke kamarnya. Diana melihat wajah Dewi yang menunjukan ekspresi aneh.
“Apa lu?”
“Kalau gw pake baju kayak lu, pasti anak gw melototin terus. Tapi si Dana malah gak tertarik tuh. Lu apain dia?”
“Biasa aja lah. Lagian cuma baju gini kok. Ntar juga kalo jadi liburan mungkin liat lebih dari ini.”
“Apa lu mau telanjang?”
“Gak gitunya juga kali.”
“Lu kembali gila. Pasti ada yang lu tutupin dari gw.”
“Lah, lu malah curiga sih?”
Beberapa saat kemudian Dewi berusaha menanyakan kepenasarannya. Namun yang Dewi dapat hanya kekecewaan. Akhirnya Dewi memutuskan untuk pulang.
***
Dana muncul tepat saat telepon berbunyi.
“Bu Dewi ngapain mah?”
“Biasa,” kata Diana lalu mengangkat telepon. “Halo.”
“Na, ini Yanti. Seneng liat kamu kembali ceria.”
“Ya, kayak dulu lagi.” Diana menyadari anaknya sedang menatap dirinya dari atas ke bawah sambil mengangkat alisnya. Diana lalu menjepit telepon dengan bahu, lalu mulai melepas pakaiannya. Pakaian itu lalu dilemparkan ke sofa.
“Gini, gw seneng lu mau ikut ngumpul ntar. Tapi …”
“Tapi apa?”
“Si Chip jadi ngamuk nih denger anaklu mau liburan. Jadi kalau lu gak keberatan, tolong ajak anak gue dong. Kalau lu setuju, ntar gue bayarin akomodasinya.”
Diana melihat Dana meninggalkan ruangan.
“Gue sih gak keberatan, tapi mesti tanya si Dana dulu. Ntar gw kabarin lagi keputusannya.”
“Oke, makasih ya Na.”
Diana menutup telepon berbarengan dengan munculnya Dana sambil membawa kamera digital dan kemeja putihnya.
“Mau diapain tuh baju?”
“Mah, makannya mau pesan gak, sekalian mama jadi model kamera Dana?”
“Iya deh terserah kamu. Tapi mau apain tuh baju?”
“Jadi ntar pas tukang makanannya datang, mama ambilnya sambil pake ini saja.”
“Apa?”
“Iya mah. Sekarang kan lagi dingin. Kasian tuh tukang anter makanan. Biar jadi anget dikit. Biar hot gitu loh.”
“Kenapa kamu dulu gak negosiasikan tentang nilai? Biar mama gak kena masalah kayak gini.”
“Lho, kan mama yang pertama mulai. Dana hanya belajar dari yang terbaik dong mah.”
“Gak usah muji deh.”
“Lah mama. Jadi gimana mah?”
“Tapi dikancingin ya, setuju?”
“Hanya tiga kancing dari paling bawah, setuju.”
Diana menatap kemeja, “Mama tinggal membungkuk lalu orang – orang pada ngedeketin dah.”
“Jangan membungkuk dong mah.”
“Iya deh. Tapi kalau yang nganternya cewek, yang bayarnya kamu. Tapi hanya pake celana pendek.”
“Kalau gitu, Dana setuju asal mama cuma kancingin dua kancing saja.”
“Baiklah. Dua kancing, tapi kalau yang ngirimnya cewek, kamu yang mesti ngambil sambil goyangin pantat kamu.”
“Kalau gitu sih, mama jangan kancingin baju mama ntar kalau cewek Dana yang ambil sambil goyang.”
“Baiklah. Asal adik kecilmu mesti keliatan… Plus kamu ajak mama ntar main keluar.”
“Setuju.”
“Gak usah banyak senyum. Dulu juga papamu pernah bikin mama kayak gini, sampai handuk mama lepas saat bayar.”
Diana lalu memikirkan menu yang akan dipesannya. Setelah yakin Diana menyambar kemejanya.
“Kamu punya niat busuk apa lagi sama mama?”
“Gak ada niat busuk, cuma apa mama gak kepanasan pake kemeja di dapur?”
“Dasar kamu. Mama mandi dulu ah… biar nanti seger pas liat kamu show.”
Diana mandi namun tak berlama – lama. Diana menuju kamar anaknya lalu mendorong pintu dengan kakinya hingga terbuka. Terpampanglah Diana yang sedang berdiri, memakai kemeja namun tiada satupun yang dikancingkannya.
Dana langsung menyambar kamera lantas memotret.
“Mama makin hari makin cantik aja.”
“Ngegombal aja kamu nak.” Namun Diana malah terlihat berseri – seri. Diana lalu memutar tubuhnya membuat kemeja itu seolah melayang.
“Apa wanita diajari cara khusus agar bikin pria gila mah?”
“Tentu tidak sayang. Mungkin memang sudah insting,” kata Diana sambil berbalik membelakangi anaknya. Diana lantas menarik ujung kemejanya ke atas hingga memperlihatkan pantat, lalu menggoyangkannya. Diana menyeringai saat mendengar bunyi klik. Diana malah berharap agar pengantar makanan adalah pria.
Setelah beberapa menit berlalu ibu dan anak itu pun ke dapur.
“Nah, tukang foto, kamu mau mama gimana?”
“Coba mama duduk dikursi sambil menyilangkan kaki. Terus tangan mama taruh di lutut.”
Diana menuruti. Klik.
“Sekarang coba mama rebahan di meja sambil tangan mama ke depanin.”
Diana menuruti. Klik. Saat Diana bangkit, satu payudaranya terbuka membuat Dana menyesal tak mengambil gambar pas momen itu.
“Sekarang coba mama berdiri dekat kompor, tarik baju mama ke bawah dan tatap kamera.”
Diana menuruti. Klik.
“Sekarang …” suara Dana terpotong oleh ketukan di pintu.
Diana berbalik memperlihatkan seluruh tubuh bagian depan karena kemejanya hanya tergantung di lengan. Dana menyadari putting mamanya agak mengeras. Dana dan mamanya pun saling tatap. Dana lalu mengabadikan momen itu sebelum ketukan berbunyi lagi. Mereka lalu bergegas ke ruang depan. Dana mengintip sementara Diana menunggu.
“Yes. Yang nganternya cowok mah.”
Diana menyeringai, membetulkan kemeja dan mengancingin dua kancing terbawah.
“Dasar kamu hoki. Siapin uangnya!”
Dana mundur lalu mengeluarkan uang dari dompetnya sambil melihat mamanya mendekati pintu. Sebagian susu mamanya terlihat namun tetap tak menunjukan areolanya.
“Maaf ya tante baru aja keluar dari kamar mandi.”
“Ng… Ng… Man… Tat… eh… Nggggaakkk apa… tanttte.”
Pintu lalu dibuka dan makanannya langsung disambar oleh Diana. Saat Dana mendengar suara orang terkesiap, Dana tahu pasti ada yang terlihat. Diana lalu mundur dan menyerahkan makanan ke anaknya. Entah kenapa Dana malah melihat wajah mamanya seperti senang. Dana menyerahkan uang ke mamanya yang langsung diraihnya sambil berseringai. Tangan kanan Diana meraih uang sementara tangan kirinya menarik paksa dua kancing hingga terlepas dan berjatuhan yang tentu saja terlihat oleh pengantar makanan betapa ada kancing yang jatuh.
“Ntar mama benerin,” bisik Diana ke anaknya. “Sekarang waktunya kamu pergi. Sembunyi!”
Diana melangkah mundur lalu berbalik sambil mencoba menutup kemeja dengan tangannya. “Makasih ya. Nih uangnya,” kata Diana yang langsung diambil oleh pengantar makanan. Pintu pun ditutup. Diana lalu berbalik dan bersandar ke pintu. Kemejanya naik turun seirama dengan dadanya yang naik turun. Lalu Diana menatap anaknya.
“Mama jadi bening.”
“Huh?”
“Udahlah, ikutin mama.”
Diana melangkahkan kakinya ke dapur. Lalu Diana mengambil panci kecil untuk merebus mie yang memiliki pegangan, menduduki meja terus melebarkan pahanya. Panci itu lalu diposisikan agar menutupi selangkangannya.
“Mama tegang bener..”
Panci itu menyentuh sebagian kecil lipatan daging antara dua kakinya membuat seluruh tubuh Diana menegang. Panci itu pun terlepas dan jatuh ke lantai. Satu tangan Diana meraih dan menyentuh rambutnya mengiringi getaran tubuhnya.
“Ooooooooooooohhhh.”
Diana terus bergetar hingga beberapa saat. Kemudian diam. Perlahan – lahan Diana turun dari meja dan berdiri. Diana menatap anaknya. Seluruh tubuh Diana dipenuhi keringat. Diana lalu mendekati anaknya, melebarkan tangan dan memeluknya. Tiadanya kancing yang terpasang membuat payudara Diana menekan dada anaknya. Diana lalu menyandarkan kepala ke bahu anaknya.
“Nikmat sekali orgasme mama barusan. Kamu gak lupa memilmkannya kan?|
“Oh iya. Aduh sial.”
Diana tertawa tanpa melepas pelukannya. “Udahlah, besok kita pesen apa lagi?”
"Yes, yang nganternya cewek” kata Diana sambil berjingkrak.
Dana melepas baju dan melemparkannya ke sofa. Dana lalu melepas ikat pinggang sambil melihat mamanya berjoget.
“Kamu kayak gak semangat gitu sih?”
“Lho, kan awalnya cuma nebak laki atau bukan.”
“Ingat, sampai tiga kali ya.”
“Iya. Yang kemarin Dana sampai telanjang.”
“Kan handuk itu idenya kamu.”
Kini Dana berdiri di hadapan mamanya dengan hanya mengenakan celana pendek. Dana menatap celana pendek anaknya.
“Temen kecil mama mana?”
“Gak usah ditambahin kata ‘kecil’!”
“Sini, mama bantu.”
Diana mengangkat ujung belakang kemeja sehingga pantatnya telanjang. Setelah itu Diana berbalik membelakangi anaknya dan mundur hingga pantat itu menyentuh celana anaknya. Setelah menyentuh, Diana lalu menggesek – gesekkan pantatnya hingga terdapat benjolan yang dirasa cukup besar oleh Diana.
“Ayo goyang duyu…”
“Mama kok kejam gitu sih?”
“Biar kejam, tapi efektif kan.”
Setelah benjolan itu tak lagi membesar, Diana menghentikan aksinya. Diana kembali berbalik lalu menepuk pelan benjolan yang tiba – tiba muncul di celana anaknya. Setelah itu Diana memegang bahu anaknya dan memutar tubuh anaknya lalu mendorongnya.
“Ayo cepet buka, kasian udah nunggu tuh.”
Dana membuka pintu.
“Pak ini pesanannya,” kata pengantar makanan sambil melihat tubuh Dana, dari atas hingga ke bawah.
“Oh ya, jadi berapa?”
“Jadi sekian.”
Dana mengambil makanan yang lalu tangannya menerima uang yang diserahkan oleh mamanya yang sedang sembunyi di belakang pintu. Setelah uang itu diterima oleh Dana, tangan mamanya cepat langsung menarik ujung celana Dana hingga melorot sampai ke bawah. Dana langsung memberikan uang ke pengantar makanan sambil meminta maaf. Setelah itu Dana langsung menutup pintunya.
Terdengar suara tertawa dari luar rumah.
Saat akan melangkah, Dana terjatuh dengan celananya masih melorot.
“Sini mah, Dana mau bunuh mama!”
Diana pura – pura menjerit takut sambil tertawa. Lalu Diana melesat ke dapur yang tentu saja sambil dikejar Dana.
“Kalau mama mati, kita gakkan liburan dong.”
Dana kini ada di sisi meja sedangkan Diana di sisi sebrangnya. Mereka saling melotot. Saat Dana berjalan ke arah kanannya, Diana pun melangkah ke kanannya sehingga posisi mereka tetap sama bersebrangan.
“Ayo, tangkap mama. Pasti kamu bingung setelah tangkap mama!”
“Enggak dong, pemburu selalu punya rencana.”
“Tuh liat, temen kecil mama melambaikan tangan!”
Dana menunduk menatap kontolnya yang terlihat jelas. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Diana untuk berlari ke kamarnya lalu mengunci pintunya.
“Kuat berapa lama di dalam mah?”
“Sampai ada kesepakatan.”
“Kesepakatan apa lagi?”
“Kesepakatan yang bakal menjauhkan masalah dari mama.”
“Oh ya semoga beruntung.”
“Lho, mama juga kan udah tiga kali ngasih pertunjukan ke pengantar makanan. Jadi adil dong”
“Iya. Mama pasti keliatan seksi. Nah Dana, pasti kelihatan bodoh.”
“Mama yakin cewek barusan gak setuju sama kata - katamu.”
“Kenapa mama gak keluar dan tanyakan aja sendiri?”
“Keluar sementara ada pembunuh liar berkeliaran di rumah? Tentu tidak.”
“Meski gak ada makanan?”
“Mama emang berencana diet kok. Ayolah, akui saja kamu juga menikmati aksimu. Temen kecil mama yang bilang kok.”
“Sekarang siapa yang ngawur? Ingat, nyonya sedang terpuruk dalam lubang.”
“Udahlah, ngaku aja kamu juga menikmatinya kan. Bahkan mama yakin kamu masih keras.”
“Terus kenapa?”
Percakapan mendadak berhenti. Kedua pihak seakan sepakat untuk berdiam diri sejenak.
“Mama bakal buat semuanya terserah kamu aja.”
“Caranya?”
“Percaya saja.”
“Enggak ah.”
“Serius nih. Mama nawarin gencatan senjata.”
“Jangan main – main lagi.”
Terdengar suara kunci dibuka. Pintu lalu terbuka perlahan hingga terbuka seutuhnya. Diana menatap anaknya yang masih berdiri.
“Tuh kan, kamu masih keras.”
“Jangan ganti topik, gimana ide mama tadi?”
“Sabar, kamu duduk dulu tuh di kasur”
Dana melangkahkan kakinya ke kasur sambil menatap curiga mamanya yang mendekati meja rias.
“Ingat gak aturannya?” kata Diana sambil mengeluarkan celana dalam hijau dan memakainya. celana dalam itu terlihat sangat pas sehingga lekukaknya sempurna.
Dana terlihat bingung melihat mamanya mendekat. Setelah dekat, Diana berbalik hingga membelakangi anaknya lalu seolah duduk di pangkuan anaknya, namun bukan untuk duduk melaikan untuk menggesek – gesekkan pantatnya. Tangan Diana meraih tangan Dana dan meletakkannya di pahanya.
“Kamu hanya boleh sentuh paha,” kata Dana sambil mencoba menekankan pantatnya lebih dalam.
“Oh tuhan,” kata Dana sambil menarik nafas.
Diana bisa merasakan kontol anaknya yang makin tegang. Diana meletakan tangan di lututnya sambil bergoyang. Mendengar nafas anaknya yang makin tak teratur, Diana bangkit berdiri, menurunkan celana dalam hingga pantatnya kembali telanjang lalu kembali menekan kontol anaknya sambil bergoyang.
“Oh…”
Tubuh Diana tersentak dan tersentak saat kontol anaknya menyemburkan lahar panas ke pantat mulusnya. Setelah lahar itu tak lagi menyembur, kepala Diana berbalik menatap anaknya.
“Nah ingat yang barusan takkan terulang lagi.”
Dana hanya bisa mengangguk menikmati sisa – sisa sensasinya.
“Mama udah lapar nih.”
Diana lalu bangkit berdiri yang segera disusul anaknya. Dari selangkangan keduanya menetes caiar putih kental membasahi lantai. celana dalam Diana pun dilepas.
“Kamu mandi sana. Biar mama bersihin ini. Ntar kita makan di luar aja yuk.”
Diana dan anaknya sedang duduk di meja menunggu pelayan.
“Selamat datang, mau pesan apa?”
Suara pelayan terdengar familiar di telinga Dana. Dana menoleh untuk melihatnya, saat kedua pasang mata itu bertatapan, keduanya terkejut. Ternyata pelayan itu adalah pengantar makanan yang tadi. Namun, tak seperti pelayan dan anaknya, Diana malah tertawa – tawa.”
“Eh, masih lapar ya? Memang lebih enak makan di sini.”
“IYa, kami bosan makan di rumah.”
“Mau pesan apa?” kata pelayan sambil menyerahkan daftar menu.
“Kami pesan teh manis dulu, dua. Iya kan?”
Dana hanya mengangguk tanpa berkata. Dana malu, celakanya wajahnya menunjukan itu.
“Segera.”
Setelah pelayan itu pergi, Diana menatap anaknya. “Apa pun yang terjadi, kamu jangan panggil mama. Panggil aja Diana. Jangan ada yang tau aku mamamu, Paham!”
“Dari semua tempat makan di kota ini, kenapa malah dilayani dia sih?”
“Itulah yang disebut takdir. Meski sebelum pergi kita bisa memutuskan untuk makan di restoran manapun tanpa ada yang memaksa harus ke mana, namun pertemuan ini sepertinya tidak bisa dihindari. Mama ke toilet dulu. Tunggu di sini.”
Diana berjalan menuju toilet, di tengah jalan, Diana berpapasan dengan pelayan tadi. Diana hanya tersenyum namun Dana terlihat semakin gugup dan atau malu.
Diana kembali ke meja. Di meja telah tersedia minuman yang tadi dipesan. Saat Dana menyedot minumannya, Diana lalu menaruh sesuatu di meja yang membuat Dana tersedak. Dana melihat mamanya menaruh celana dalam hijau.
“Biarkan itu terus di meja, berani gak?”
“Mama mau ngapain?”
“Senang - senang dong. Biar jadi kenangan indah buat kamu.”
Namun Dana malah mengambil celana dalam mamanya dan memasukkannya ke saku. Diana hanya menyeringai melihat tingkah anaknya.
“Dasar mama gila.”
“Hehehe.”
Keduanya lalu diam saat pelayan kembali datang.
“Maaf, sudah siap pesan?”
“Saya pesan lasagna aja. Sedangkan wanita cantik ini sepertinya akan memesan chicken parmesan, benarkan Di?”
Diana tertawa, “bolehlah.”
“Tuan memang pintar memilih pasangan. Mau sekalian saladnya?”
“Boleh.”
“Ada yang lain lagi?”
“Tidak.”
“Terimakasih. Mohon tunggu pesanannya,” kata pelayan itu sambil berjalan pergi, namun tetap berusaha menatap Dana.
Setelah pelayan itu pergi, Diana membungkuk hingga kepalanya agak mendekati anaknya, “dia masing ingat saat kamu telanjang lalu membayangkan gimana kamu menyentuh wanita seusia mama.”
Dana menyemburkan minuman dari mulutnya.
“Mama benar – benar gila. Bagaimana dulu tingkah laku papa sama mama sih?”
“Papa dan mamamu pasangan serasi. Tau gak?”
“Pantes saja.”
“Mama dan papa saling mencintai. Pokoknya akan melakukan segalanya demi pasangan. Mama sangat setia, bahkan tak pernah selingkuh. Sepertinya papamu juga begitu. Pokoknya mama dan papa sangat terbuka bagi hal – hal baru. Intinya adalah komunikasi.”
Percakapan terhenti saat pelayan datang membawa salad. Mata pelayan itu tak henti – hentinya mencuri pandang ke Dana.
“Jadi, ‘Diana’ ini biasa seperti ini dulu sama papa?”
“Mama rela melakukan apa saja demi papamu hingga separuh jiwa mama moksa seiring dengan moksanya papamu. Bertahun – tahun mama merasa hidup ini hambar, begitu hambarnya hingga bagaikan tiada lagi yang bisa lebih hambar lagi. Sampai akhir – akhir ini.”
“Sampai akhirnya aku mau jadi mahasiswa.”
Sekarang Diana yang tertawa dibuatnya pun hingga saat pelayan datang.
“Ini makanannya, silakan.” Pelayan mulai meletakkan makanan, namun mulutnya tak berhenti bicara. “Mohon maaf, apabila boleh tahu, berapakan usia tuan dan puan yang sungguh sangat serasi ini?”
“Baru tujuh belas.” Kata Dana.
“Saya sih cukup tua. Bahkan layak untuk menjadi ibu dari anak ini,” jawab Diana sambil tersenyum.
Pelayan itu menggeleng, “Luar biasa. Tuan dan puan sungguh terlihat sangat bahagia.” Pelayan itu masih tetap menggelengkan kepala sambil pergi menjauh.
“Mama ternyata suka mengambil resiko.”
“Mama dan papamu justru pemburu sensasi. Apa lagi yang sangat membuat mendebarkan. Mama jadi kangen masa – masa dulu. Apa kamu sekarang merasa berdebar – debar?”
“Bukan hanya itu, tapi juga takut setengah mati.”
“Itulah sensasinya. Pokoknya ingat, asal jangan sampai ada yang terluka dan harus saling menghormati.”
Aroma makanan membuat pembicaraan berhenti. Berganti dengan acara santap. Makanan pun habis. Diana berdiri melihat pelayan mendekat. Saat pelayan itu menghampiri meja, Diana menyapanya.
“Terimakasih untuk pelayanannya sayang.”
Setelah itu mereka pun keluar dari restoran. Namun sebelum masuk ke mobil, Dana menatap mamanya.
“Berani gak mama lepas rok itu dan nyopir sambil gak pake bawahan?”
Diana tersentak. Diana menatap anaknya lalu melihat keadaan di parkiran itu. Setelah melihat keadaan, Diana kembali menatap anaknya sambil menyeringai. Diana lalu melepas rok dan memberikan ke anaknya.
Angin dingin langsung menyentuh tubuhnya.
Diana langsung duduk di belakang kemudi. Diana lalu menurunkan jendela di pintu kiri.
“Mama gakkan nyetir sampai dapet celanamu.”
Dana menyeringai dan mulai melepas celana panjangnya. Kini di jok belakang terdapat rok, celana panjang dan sepatu.
“Lepas juga dong celana pendekmu?”
“Siap,tapi ada syaratnya.”
“Apa?”
“Dana ingat belum punya video mama lagi make mainan karet mama itu. Gimana, setuju?”
Dana sedang melepas celana pendeknya saat mamanya tertawa sambil berkata setuju. Keduanya kini tidak memakai bawahan sama sekali hingga sampai di rumah.
Sampai di depan rumah, keduanya belum keluar dari mobil. Jalanan tampak sepi sehingga meski mobil mereka melintang agak tengah, tak ada yang memprotes. Pagar masih tertutup. Diana menatap anaknya.
“Berani gak kamu buka tuh pagar tanpa pake celana dulu?”
“Asal mama isep dildo itu di akhir pertunjukan?”
Diana tertawa, “bener – bener cabul.”
“Kan belajar dari ahlinya,”kata Dana sambil keluar dari mobil dan bergegas membuka pagar.
“Sialan mama. Dasar eksibisionis.”
“Ya ya ya … kata orang yang tak bercelana,” kata Diana, tertawa sambil keluar dari mobil.
“Ya ya sekarang waktunya tampil. Dana ingin pantat itu siap.”
“Saatnya anakku kerja,” kata Diana berjalan sambil melepas pakaiannya.
Dana mengikuti mamanya dari belakang, “Mah, daripada telanjang, apa mama punya lingerie?”
“Wow, mungkin masih ada. Gini aja, kamu siapin aja kameranya biar mama juga siap – siap.”
“Oh iya.” Seringai Dana.
Diana beranjak ke kamar mandi di kamarnya untuk mulai menyiapkan diri sementara anaknya memasang tripod. Selesai memasang tripod, Dana duduk di kasur menunggu mamanya muncul.
“Oh, mama cantik sekali.”
“Makasih.”
Diana terlihat cantik memakai lingerie hitam.
“Kamu suka?”
“Iya mah.”
Diana lalu berjalan menuju laci mengambil keluar dildonya. Saat melewati anaknya, Diana menepuk kontol anaknya dengan dildo sambil tersenyum.
“Temen kecil bertemu temen palsu.”
Setelah itu Diana naik ke kasur dan terlentang.
“Cdnya dilepas apa dipake, pak sutradara?”
“Dilepas aja mah.”
“Ya udah sini bukain dong.”
Dana tertegun. Dana mendekat dan menjulurkan tangannya saat mamanya mengangkat pantatnya. Sentuhan tangan Dana pada pinggul mamanya membuat mereka merasakan getaran nafsu yang tak tertahankan. Tangan Dana lalu menarik cd itu. Saat cd itu mencapai lutut, pantat Diana kembali diturunkan dan kini kakinya yang diangkat membuat cd itu akhirnya terlepas seluruhnya. Dana menaruh cd itu di kasur.
“Makasih.”
Setelah itu Diana mengambil dildo dan mulai mendekatkannya ke selangkangan yang dirasanya sudah mulai basah. Diana lalu diam, menatap anaknya.
Dana tertawa seolah disadarkan, “Oh iya, kamera. Duh.”
Dana lalu memainkan kamera yang ditaruh di tripod. “Oke, action.”
Diana kini mulai mengelus – elus dildo itu ke memeknya sambil mengerang. Tak butuh waktu lama bagi Diana untuk mencapai orgasme hingga erangan Diana makin keras namun tertahan, dan tubuhnya pun mengejang. Akhirnya Diana berbaring sambil terengah – engah.
Diana lalu mendekatkan dildo itu ke wajahnya.
“Mama tantang kamu jilatin ini.”
“Apa?”
“Kamu dengar tadi, jilatin aja, gak usah yang lain. Inget aja ini barusan dari mana, jangan bayangin bentuknya.”
Dana terlihat ragu. Namun akhirnya Dana mengambil dildo itu dari tangan mamanya. Dana mulai mendekatkan dildo itu ke mulutnya.
“Papamu dulu suka banget rasanya.”
Meski masih terlihat ragu, namun Dana menjulurkan lidah sambil menutup matanya.
“Okelah.”
Dana lalu duduk di kasur, tangan kanannya memegang dildo sambil menjilatinya sementara tangan kirinya kini menyentuh kontol dan mulai mengocoknya. Hanya sebentar, namun kocokan itu mampu membuat lahar panas menyembur dari kontolnya. Lahar itu membasahi perut Dana sendiri. Dana pun merebahkan dirinya di kasur.
Melihat anaknya berbaring di sebelah dengan perut penuh pejunya membuat Diana membungkuk dan mencolek peju anaknya dengan tangannya. Tangan berpeju itu lalu dihisapnya hingga bersih.
“Mmmhhh… rasanya beda sama rasa papamu.”
Mereka berdua lalu menapa kamera yang masih merekam. Diana menyeringai sambil menatap anaknya.
“Mau buat salinannya untuk pelayan kita gak?”
Diana tertawa menyadari anaknya terkejut. Diana lalu bangkit menuju kamar mandi.
“Pingin tau selanjutnya? Mainkan aja imajinasimu.” Kata Diana sambil menutup kamar mandinya.
Dana hanya berbaring sambil menyeringai. Mencoba berimajinasi.
Dana sedang duduk di dapur sambil memperhatikan mamanya mencuci piring. Pantat mamanya terbungkus celana dalam hijau. Dana bertanya – tanya, mengapa mama memakai cd? Namun setelah kira – kira sepenanak nasi, Dana baru menyadarinya. Ternyata mamanya sedang datang bulan.
“Gimana ini mah? Kalau lagi datang bulan trus kita mau ngapain?”
“Kamu sih enak gak terganggu masalah kayak gini.”
Tok … tok …
“Kamu pesen makanan lagi?”
“Enggak mah. Gak pesen apa – apa kok.”
Diana bergegas ke kamarnya untuk memakai pakaian sementara anaknya menuju pintu untuk membukanya.
Tak lama kemudian, Dana muncul di dapur bersana Dewi dan Yanti. Di dapur sudah ada Diana yang hanya berkaos saja. Dengan celana dalam tentu.
Dana tersenyum melihat mamanya, “Dana pergi dulu mah.”
Dewi dan Yanti lalu duduk di kursi sambil memperhatikan penampilan Diana yang bersender ke wastafel.
“Lu liat kan, Anaklu bahkan gak merhatiin lu.”
“Emang kenapa?”
“Kalag gw pake baju kayak gitu di rumah, udah dipelototin terus sama anak gw.”
“Lho, emang gw telanjang. Lagian gak bakalan ada yang tau gw pake cd apa.”
“Ijo,” kata Dewi dan Yanti berbarengan.
Diana hanya menggelengkan kepala mendengarnya.
“Seenggaknya gw pake baju. Lu kira gw telanjang sambil joget – joget depan anak gw.”
“Tiap anak laki pasti ngintipin emaknya. Tapi anaklu malah cuek aja. Gak normal tau.”
“Lo kira anak kita homo apa?”
“Gw pernah nemuin film porno di komputernya si cipto.”
“Iya bener, anak gw juga gitu.”
“Udahlah, kok malah ngomong yang aneh – aneh sih. Mau ngapain sih lu lu pada ke sini?”
“Oh iya, kok jadi ngelantur gini. Kita – kita mo minta maaf kemarin kemarin udah agak neken lu.”
“Gak apa apa lagi. Gw udah biasa.”
“Hehe…”
“Trus gw udah maksa lu ngajak si cipto liburan juga.”
“Gak apa – apa. Biar si Dana seneng ada temennya. Daripada cuma sama gw, emaknya, mana udah tua lagi.”
“Eh, bay de wey baswey, keberatan gak kalo sekalian ajak si dewo. Dia denger si cipto diajak makanya dia pingin ikut.”
“Duh, ngasuh tiga anak cowok saat liburan. Setua gini masih ngasuh juga,” kata Diana sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. Namun Diana berhenti saat melihat wajah Dewi yang terlihat gugup.
“Lu kira gw mau ngapain?”
“Ya, biasa. Kayak lu yang dulu.”
“Emangnya gw pernah nyelingkuhi David?”
“David udah al – marhum sayang.”
“Nah, sebelum gw nemuin yang baru, gw gak kan buka toko dulu.”
“Tapi, apa lu gak terpesona liburan sambil ditemenin tiga pemuda?”
“Anak – anak. Bukan pria yang bakal gw temenin hingga akhir hayat. Lagian mereka kan anak kita.”
“Anak laki. Bukannya laki. Lagian, kalau lu kira bakal kayak gitu, mending kagak usah libur aja sekalian…”
“Segila apapun kita dulu, dan atau sekarang, gw tau lu gak pernah main sama laki kita bertiga. Gw tau gw bisa mercayain anak gw ke lu. Tapi, delapan tahun gak ngapa – ngapain; hormon lu pasti berontak. Gw cuman cemas lu akhirnya memuntahkan semua lahar yang terpendam selama bertahun – tahun itu, dengan sengaja maupun tidak.”
“Gak usah khawatir. Delapan tahun gw bisa nahan, delapan tahun lagi gw juga bakal mampu nahan.”
“Maaf deh gw malah ngomong yang aneh – aneh. Gw percaya, bahkan gw sayang sama lu. Hanya saja, setelah delapan tahun lu kembali normal lagi. Maafin gw ya.”
“Iya, gw ngerti. Gw paham kalau lu khawatir sama anak lu. Tapi kalau lu gak yakin gak usah izinin anaklu ikut aja.”
“Bisa – bisa dia puasa ngomong sama gw.”
“Lu yakin?”
“Apa, gak mau ngomong sama gw?”
Para wanita lalu tertawa meski pertanyaan yang dilontarkan tidak mendapat jawaban.
“Jadi gw tinggal siapin agar dewo bisa ikut?”
“Ya udah, gw cabut dulu ya.” Yanti pun bangkit, pamit lalu meninggalkan rumah sahabatnya itu.
Diana akan melangkah saat dihentikan oleh Dewi.
“Tunggu Na.” Dewi menelan ludah.
Diana duduk di kursi sambil menatap Dewi, curiga.
“Gw gak jadi enak sama lu. Akhirnya lu kembali kayak dulu lagi. Setelah kemarin – kemarin lu kayak mayat hidup. Tapi, gw merasa lu jadi tertutup. Padahal ini gw, temen deket lu selama ini. Ada apa sih?”
Diana tak segera berujar, namun terus menatap Dewi. Dewi merasakan kegugupan yang coba disembunyikan oleh Diana.
“Terus, selama delapan tahun ini, apa lu ga berubah?”
“Gw merasa bosan. Begitu bosannya hingga kadang terlintas di benak untuk ngerjain si dewo dengan ngajak dia maen kartu.”
“Terus, kenapa lu gak ajak?”
“Apa?”
“Dewi yang dulu pasti bakal merasa tertantang.”
“Tapi, dia anak gw.”
“Berkelamin lelaki. Udah gede. Lagian ngajakin maen kartu gak berarti berujung pada seks. Sekali
lagi, Dewi yang dulu pasti udah tertantang. Sejauh mana sih perubahan lu?”
“Emang si Dana lu apain?”
“Selama delapan tahun gw gak ngapa – ngapain anak gw.” Diana menghentikan ucapan lalu menatap mata Dewi dalam diam. “Tapi kini, hanya dalam sekejap.”
“Serius lu?”
“Apa lu yakin mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi?”
“Maksud lu?”
“Ada sesuatu yang mesti gw katakan. Gw paham jika sehabis lu dengerin cerita gw, mungkin lu bakal jijik, bahkan lu bakal gak mau lagi kenal gw. Keluarga gw. Mungkin juga lu bakalan ngelarang Dewo agar tak berhubungan lagi dengan keluarga gw.”
“Gak mungkin.”
Diana kembali menatap Dewi sebelum melanjutkan percakapan. “ Menjelang senja nih. Lu ada kegiatan ntar sampai malem?”
“Gak juga sih. Laki sama anak gw gak ngomong apa – apa. Emang mau sampe jam berapa?”
“Kira – kira jam sepuluhan lah…”
Dewi lalu memiankan hp untuk memberitahu keluarganya. Diana menghilang dari pandangan Dewi untuk muncul lagi beberapa saat kemudian, lalu duduk di meja dapur.
“Kenapa lu mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi. Apa lu gak bahagia sama hidup lu yang sekarang?”
Dewi berpikir sejenak. “Gw masih cinta ama laki gw. Ama keluarga gw. Gw gak pernah lupa hubungan gw dulu sama laki gw, tapi kini serasa hambar. Apalagi laki makin sibuk sama kerjaannya.”
Tiba – tiba muncul Dana menghampiri mereka. “He bu Dewi, bu Yantinya ke mana? Udah sepuluh menit nih mah, ada apa sih?”
“Duduk nak. Bu Yanti udah pulang. Tinggal kita aja. Bu Dewi sangat suka main kartu. Tapi mama ragu apa Bu Dewi mau main malam ini. Jadi kalau Bu Dewi gak mau main, mama bisa ngajakin kamu main, berdua aja.
” Selesai berbicara lalu Diana meletakan satu pak kartu di meja.
“Apa?” teriak Dewi terjekut.
“Hah?” Dana tak kalah terkejut.
“Lu mau kembali kayak dulu? Inilah caranya.” Kata Diana sambil mendekatkan kartu ke arah Dewi.
Dewi memandang Diana. Memandang Dana. Memandang kartu. Diana hanya menyeringai saat dipandang sahabatnya itu.
“Dijamin lu gakkan merasa bosan.”
“Main kartu trus ngapain mah?”
“Biasa. Tapi kalau ada yang kalah, mesti lepas pakaian satu – satu hingga habis.”
“Tapi mama kan cuma pake daster doang.”
“Iya, kalau daster mama lepas, yang menang boleh nanya apa saja.”
“Siaplah. Dana ikut main deh.”
“Lu penasaran sama perubahan gw kan Wi, nah lu punya kesempatan.”
“Kalian pernah main gini sebelumnya?” Dewi bertanya sambil menatap Diana dan Dana bolak – balik.
“Main kartu sih iya. Tapi main kartu. UDah, ntar aja lagi gw jawab kalo lu menang.”
“Jangan sampai Dewo tau tentang ini,” kata Dewi sambil meraih kartu.
“Terserah lu itu mah, karena gw sama anak gw gak kan pernah bilang.”
“Lu yakin Dana gak kan ngomong?”
“Gw percaya anak gw. Apalagi anak gw udah bisa megang rahasia selama ini.”
“Maksudlu?”
“Lu mau tau jawabnya?”
“Kamu udah gede kan?” Tanya Dewi kepada Dana.
“Baiknya saya bawa ktp dulu.” Dana mulai bangkit dari kursinya.
“Jangan sampai dia ke kamar, bisa – bisa pake jaket tiga lapis.”
“Kan belajar dari ahlinya.”
“Apa, kamu belajar dari ibumu? Benar – benar sial.”
“Tenang aja. Bisa jadi kita yang kalah.”
“Jangan banyak ngobrol, Dana mesti sekolah besok.”
Kartu pun dikocok, lalu dibagikan. Ternyata Diana menang, Dana yang kalah. Dana melepas kaosnya.
Putaran selanjutnya Dewi yang kalah. Dewi melirik Diana, lalu melirik Dana. Setelah itu Dewi melepas kaosnya. Terlihatlah bh hitamnya, meski tidak seperti bh hitam tante denok, namun terlihat menantang bagi Dana.
“Sip…” Diana bertepuk tangan.
“Ya… ya…” Kata Dewi sambil mengambil lalu mengocok kartu. “Fokus nak. Mamamu mesti dikalahkan.” Kata Dana sambil menatap Dewi.
“Iya bu.”
Ternyata Dana kalah. Dia pun melepas singletnya. Dewi menatap dada Dana yang telanjang.
“Jangan – jangan kartunya sudah diatur nih,” celoteh Dana.
“Tentu tidak. Ini bukti kalau perempuan lebih pintar.” Kata Dewi sambil memperbaiki posisi bhnya.
Diana kalah juga. “Kita lihat apakah ada perubahan setelah delapan tahun,” kata Dewi.
Diana melepas kaos lalu melemparnya ke lantai.
“Agak gemukan kayaknya,” kata Dewi sambil melihat Dana. Dana sedang menyeringai ke mamanya.
“Gw tahu. Dana udah melihat tubuh itu. Matanya gak begitu terkejut.”
“Baik, Dana udah melihat wanita telanjang. Besok Dana mesti sekolah, jadi selamat malam.”
“Kalau kamu pergi berarti liburan pun gak jadi.”
“Bener, jika masih mau main sama Dewo. Lagian, tante udah sering liat mamamu telanjang. Jadi biasa aja tuh.”
Dana terpaksa duduk lagi.
Putaran berikutnya Dewi menang, Diana kalah. Karena Diana tak bisa melepas cd, jadi Dewi berhak bertanya dan Diana mesti menjawab. “Kapan Dana pertama kali liat tubuhlu?”
“Hehe… kita kadang mandi bareng. Ya… setelah tiga kali mungkin…”
“Oh tuhan, Omong kosong.”
“Kan lu yang nanya.”
“Parah…”
Berikutnya Dana menang, yang kalah masih Diana.
“Benar kata bu Dewi, omong kosong. Jawab aja yang jujur mah!”
“Baiklah. Dia liat kira – kira satu setengah atau dua bulan ke belakang.”
“Nah, lebih masuk akal jawabannya. Gimana awalnya?”
“Itu jawaban buat pemenang berikutnya…”
Putaran berikutnya kembali Diana kalah.
“Sampai mana tadi, oh ya, gimana awalnya?”
“Lu inget gak saat lu nanya kenapa anak gw jadi pinter. Nah, waktu itu jawabannya ngarang. Kamu mau jelasin Nak?” kata Diana sambil menatap anaknya.
“Saat itu Dana gak mau kuliah. Namun mama janji kalau Dana mau kuliah dan nilai Dana membaik, mama bakalan telanjang di rumah jika hanya berdua .”
“Gak mungkin. Gila…”
“Dia lupa bilang, selain gak boleh cerita sama siapa pun juga gak boleh sentuh.”
“Bercanda ah. Eh, tapi, itu kelakuanlu delapan tahun silam. Liar dan nakal.” Dewi bolak – balik menatap Diana dan Dana. “Benar - benar liar, nakal. Kasihan anak lu, bisa liat gak bisa nyentuh. Terus – terus …”
“Ya kasihan juga. Tapi dia berhasil bikin gw lakuin hal – hal gila lainnya. Bener – bener persis bapaknya…”
“Ceritain dong.”
“Ntar kalau lu menang lagi.”
Namun putaran berikutnya Dewi kalah, hingga terpaksa melepas celananya.
“Liat nak, apa cdnya selaras dengan bhnya?” kata Diana menatap anaknya.
“Iya mah.”
“Kalian ibu dan anak sama – sama gila.”
“Bentar, gw ke kamar mandi dulu.” Kata Diana lalu bangkit.
“Jadi kamu liat mamamu telanjang selama dua bulan ini nak?” Dewi menatap Dana penasaran.
“Iya.”
“Mamamu seksi sih.”
“Ah, bu Dewi juga seksi lho,” Dana mulai mencoba peruntungan, sambil belajar SSI.
“Makasih nak. Tante tau kamu bilang gitu agar bisa liat tante telajang, seperti mamamu.”
“Gak gitu. Ini rahasia tante, tapi kami, Dewo dan Cipto, sering ngobrolin siapa mama paling seksi.”
“Begitu ya? Tapi mamamu belum tua – tua amat.”
“Gak juga. Sebelum perjanjian, mama terlihat tanpa gairah. Pucat dan terlihat tua. Namun beberapa hari ini, mama terlihat bersemangat.”
“Tante percaya. Tapi apa kalian senang menjalaninya?”
“Memang godaan untuk menyentuh, bahkan merengkuh tubuh mama selalu datang melanda. Tapi Dana berusaha patuh.”
“Jadi bener – bener tanpa kontak fisik? Wow.”
“Tentu. Lagian ini kan mama Dana. Dana juga menyayangi mama.”
Diana kembali, lalu menatap mereka. “Masih pada berpakaian, bagus.”
“Dana juga mau ke kamar mandi.” Katanya sambil bangkit.
“Jadi, gimana meunurut lu?”
“Gw gak tau mesti mikir apa. Tapi udah lama rasanya gak ngerasain nih perut berkenyut – kenyut seperti sekarang ini.”
“Nah, itu. Beberapa hari terakhir denang Dana membuat perut gw seakan kembali diaduk. Luar dari pada biasa,” kata Diana sambil memutar jemari di perutnya.
“Kenapa gak ngelangkah lebih lagi?”
“Ya jelas dia anak gw. Tentu gak bisa jadi suami gw. Dana mesti nikmatin hidupnya, raih pengalaman sebanyak mungkin. Biar bisa jadi laki fearless… Tentu semua itu gak bisa dia raih jika sama gw. Lagian, dia belum cukup pengalaman buat bisa nafkahin gw, terutama nafkah lahir.”
“Lu ngomong apa sih? Maksud gw seks, ngewe. Bukan yang lainnya.”
“Bagi gw, seks bukan sekedar ngewe. Mesti spesial.”
“Bener – bener Diana yang dulu. Liar, nakal, brutal membuat semua orang menjadi gempar. Anehnya gak mau ngewe selain sama laki lu dulu.”
“Nah, itu maksud gw, mesti liar, tapi apa lu sanggup ngewe siapa aja? Mesti banyak pertimbangan. Jangan sampai pada akhirnya cukup bilang ‘saya prihatin.’”
“Nyindir gw lu yah? Itu sih udah lama banget.”
“Meski gitu, si Yanti gak pernah berubah. Malah gw rasa jadi agak ada jarak dia sekarang ini.”
“Dia bener – bener rindu lu yang dulu. Gw akuin itu.”
“Ya mau gimana lagi.”
“Gimana rasanya telanjang di hadapan anaklu?”
“Rasanya gw dulu terlalu sibuk di dapur, hingga akhirnya begitu.”
“Begitu gimana mah?” kata Dana sambil melangkah masuk.
“Kamu ada di sini?” tatap Dewi ke Dana.
“Jangan dibiasakan menguping percakapan orang, gak baik.” Kata Diana sambil memukul tangan anaknya.
Dewi menatap Dana, “Kamu benar – benar anak mamamu.” Lalu menatap Diana, “Tapi gw cemburu, kalian jadi begitu dekat. Gak ada jarak.”
Diana menarik anaknya lalu memeluknya. “Ya, gimana lagi. Gw cinta banget anak gw. Meski nakalnya bukan main.”
“Duh, sekali lagi. Pelukan ini malah membuat tersiksa.”
Diana melepas anaknya, lalu melihat dadanya. “Mau gimana lagi …” Kini Diana menatap Dewi,
“Kamu tau nak, malam ini bukan hanya mama yang bisa membuatmu tersiksa.”
“Benar mah, bentar lagi bu Dewi pasti telanjang.”
“Sebelum tante juga pasti kamu duluan.” Kata Dewi sambil mengocok botol, ngocok kartu.
“Kok pada ngobrol cabul di tempat gw.”
Mereka memainkan kartu. Berkonsentrasi agar tidak kalah. Namun akhirnya celana Dana yang lepas. Otomatis Dana hanya tinggal memakai cd nya.
“Nah, bentar lagi ketemu sama temen kecil mama.”
“Udah Dana bilang gak perlu pake temen kecil segala. Kayaknya Dana mesti terapi atau apalah – apalah.”
“Gak usah sok ngomongin harga diri. Coba ingat, berapa orang temanmu sekarang yang lagi sama wanita telanjang.”
“Jadi inget, lu pernah liat anaklu telanjang gak?”
“Kalahin gw dulu dong.”
“Udah, sini kartunya.” Kata Dana sambil mengambil kartu lalu mengocoknya.
Kali ini Dewi kalah.
“Hahaha… lepas lagi nih.” Diana bertepuk tangan.
“Haha… lu mesti malu sama diri lu.” Kata Dewi sambil meraih punggungnya sendiri. Dewi tersipu malu melihat mata Dana yang menapat tubuhnya. Dewi melepas bh dan melemparkanya ke dekat Diana yang sedang berseringai. “Gw muak liat seringai lu.”
“Hati – hati, kalau lu banyak gerak, bakal bikin susulu naik turun. Kasiah si Dana.”
Namun, Dewi malah meletakan tangan di bawah susunya, lalu mengguncang – guncang susunya dengan tangannya sendiri, “nih, biar makin tersiksa.”
Dana hanya bisa melihat sambil menelan ludah. Diana dan Dewi hanya tertawa. Pada putaran berikutnya, Dana kalah.
Dana berdiri, “jangan sampai Dewo dengar tentang ini.” Dana melepas cdnya. DI wajahnya terlihat betapa ia malu. Kontolnya sudah agak tegang. Setelah telanjang, Dana kembali duduk.
“Salut tante, kamu udah Dewasa,” kata Dewi menatap Dana sambil tersenyum.
“Iya makasih.”
Tiba – tiba telepon berbunyi. Diana bangkit dan meraihnya. “Wi, ini dari Widia nih.”
Dewi pun bangkit. Saat berjalan, susunya memantul bergerak liar.
“Duh, gw inget baju basket si Widia belum di cuci.”
“Lu sengaja ya rencanain bilang gitu.”
“Sengaja? Gw malah pingin tanding ulang lagi minggu depan. Juga, Dana…”
Dana telah membawa pakaiannya dan akan ke kamarnya saat dia dipanggil. Dana lalu berbalik.
Dewi meraih cdnya, lalu menurukan hingga lepas. “Jangan dengarkan kata – kata mamamu.” Dewi berdiri dengan tangan di pinggulnya.
Dana melongo melihat sahabat mamanya berdiri telanjang di hadapannya. “Makasih tante, tenang saja, Dana takkan dengar ucapan mama kok.” Setelah itu Dana melihat Dewi mulai memungut pakaiannya dan memakainya kembali.
Diana kembali memakai pakaian, lalu ke pintu mengantar Dewi. Dewi lalu berbalik dan memeluk Diana.
“Makasih. Abis gw cuci baju Widia, si Jefri gak bakalan tau apa yang ntar terjadi.”
Diana tertawa hingga Dewi hilang dari pandangannya.
“Yes” Diana berteriak sambil bergoyang. Di tangannya tergenggam remot wii. Goyangan tubuhnya membuat kedua susunya yang basah dipenuhi peluh berguncang tak mau diam.
Dana menjatuhkan diri ke sofa hitam di belakang mereka. Kepalanya menunduk sambil duduk.
Diana membungkuk menyentuh jemari kaki sambil melemaskan perut dan ototnya. Sedang di belakangnya, anaknya sedang disuguhi pemandangan indah, berupa pantat montoknya yang ditutupi celana biru muda. Namun, dari sela kakinya Diana melihat anaknya hanya melempar remot wii dan menyandarkan kepala ke sofa.
Pun Diana mendekati anaknya lalu ikut bersandar di sebelahnya.
“Ada apa sih? Tumben cuekin pantat mama.”
“Entahlah mah. Rasanya kesal banget nih.?”
“Kesal kenapa?”
“Bener mama mau tau?”
“Iya dong sayang,” kata Diana sambil melingkarkan lengannya di bahu anaknya.
“Dana seneng mau liburan sama mama, juga sambil ngajakin temen. Tapi di sisi lain, Dana merasa gak seneng juga temen Dana ikut.”
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar